HASSAN HANAFI: BIOGRAFI, GAGASAN PEMBAHARUAN DAN PEMIKIRAN ISLAM
Disusun Oleh: MOH. KHUAILID
A. Pendahuluan
Semua Muslim percaya bahwa
ajaran Islam adalah suatu norma ideal yang dapat diadaptasi oleh bangsa
apa saja dan kapan saja. Ajaran Islam bersifat universal dan tidak
bertentangan dengan rasio. Semua kaum Muslim harus selalu membangun
peradaban yang bertumpu pada pesan-pesan abadi itu. Persoalannya,
bagaimana semestinya mendekati dan mengkaji aspek-aspek peradaban,
kesejarahan, politik, ekonomi dan sosial Islam yang dibangun atas
universalitas itu?
Sekian banyak cendikiawan
Muslim, dalam arti pemikir, yang memiliki komitmen cukup baik kepada
Islam dan juga keahlian dalam ilmu-ilmu agama Islam, yang tetap berusaha
mengembangkan pemikirannya untuk membangun peradaban yang didasarkan
atas nilai-nilai universalitas Islam tersebut. Salah satu dari
cendikiawan itu adalah Hassan Hanafi, yang berusaha mengambil inisiatif
dengan memunculkan suatu gagasan tentang keharusan bagi Islam untuk
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi
pembebasan. Dengan gagasan tersebut, baginya, Islam bukan sebagai
institusi penyerahan diri yang membuat kaum Muslimin menjadi tidak
berdaya dalam menghadapi kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi
Islam merupakan sebuah basis gerakan ideologis populistik yang mampu
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Proyek besar itu dia tempuh
dengan gayanya yang revolusioner dan menembus semua dimensi ajaran
keagamaan Islam.
Hassan Hanafi adalah Guru Besar
pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir pada 13 Februari 1935
di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar.
Kota ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh
dunia yang ingin belajar, terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun
lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak terlalu mendukung, tradisi
keilmuan berkembang di sana sejak lama. Secara historis dan kultural,
kota Mesir memang telah dipengaruhi peradaban-peradaban besar sejak masa
Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, bahkan sampai
dengan Eropa moderen. Hal ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota
Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan
Hassan Hanafi.
B. Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Mesir
Hassan Hanafi
adalah Guru Besar pada fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir
pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng Salahuddin, daerah
perkampungan Al-Azhar. Kota ini merupakan tempat bertemunya para
mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, terutama di
Universitas Al-Azhar. Meskipun lingkungan sosialnya dapat dikatakan
tidak terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang di sana sejak lama.
Secara historis dan kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi
peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, Romawi, Bizantium, Arab,
Mamluk dan Turki, bahkan sampai dengan Eropa moderen.1 Hal ini
menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting
bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan Hanafi.
Masa kecil Hanafi berhadapan
dengan kenyataan-kenyataan hi.dup di bawah penjajahan dan dominasi
pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan
nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia
telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel
pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda Muslimin karena dianggap
usianya masih terlalu muda. Di samping itu ia juga dianggap bukan
berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari
bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan.
Ketika masih duduk di bangku
SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana
tentara Inggris membantai para syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama
dengan para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu gerakan
revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an hingga revolusi itu
meletus pada tahun 1952. Atas saran anggota-anggota Pemuda Muslimin,
pada tahun ini ini pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul
Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan-pun terjadi perdebatan yang sama
dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. Kemudian Hanaafi kembali
disarankan oleh para anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi
Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua
organisasi sebelumnya. Hal ini mengakibatkan ketidakpuasan Hanafi atas
cara berpikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaan ini
menyebabkan ia memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami
pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Ini juga
yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb,
seperti tentang prinsip-prinsip Keadilan Sosial dalam Islam.2
Sejak tahun 1952 sampai dengan
1956 Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk mendalami bidang
filsafat. Di dalam periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di
Mesir. Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan keras antara
Ikhwan dengan gerakan revolusi. Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib
yang berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib memiliki komitmen
dan visi keislaman yang jelas.
Kejadian-kejadian yang ia alami
pada masa ini, terutama yang ia hadapi di kampus, membuatnya bangkit
menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis.3 Keprihatinan yang
muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan
konflik internal terus terjadi.
Tahun-tahun berikutnya, Hanafi
berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorborne; Perancis, pada
tahun 1956 sampai 1966. Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif
untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang
dihadapi oleh negerinya dan sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di
Perancis inilah ia dilatih untuk berpikir secara metodologis melalui
kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atau karya-karya orientalis. Ia
sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Gitton; tentang
metodologi berpikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar
fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis kesadaran dari Husserl, dan
bimbingan penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari Profesor
Masnion.4 Semangat Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang
pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari
Perancis pada tahun 1966. Akan tetapi, kekalahan Mesir dalam perang
melawan Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. la kemudian ikut
serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat nasionalisme
mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi juga
mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan akademis yang telah is
peroleh dengan memanfaatkan media massa sebagai corong perjuangannya. Ia
menulis banyak artikel untuk menangggapi masalah-masalah aktual dan
melacak faktor kelemahan umat Islam.5
Di waktu-waktu luangnya, Hanafi
mengajar di Universitas Kairo dan beberapa universitas di luar negeri.
Ia sempat menjadi profesor tamu di Perancis (1969) dan Belgia (1970).
Kemudian antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di Universitas
Temple, Amerika Serikat. Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya berawal
dari adanya keberatan pemerintah terhadap aktivitasnya di Mesir,
sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia akan tetap meneruskan
aktivitasnya itu atau pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya,
aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya kesempatan untuk banyak
menulis tentang dialog antaragama dengan revolusi. Baru setelah kembali
dari Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan pemikiran Islam. la
kemudian memulai penulisan buku Al-Turats wa al-Tajdid. Karya ini, saat
itu, belum sempat ia selesaikan karena ia dihadapkan pada gerakan
anti-pemerintah Anwar Sadat yang pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan
Israel. la terpaksa harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi
melalui ulisan-tulisannya yang berlangsung antara tahun 1976 hingga
1981. Tulisan-tulisannya itulah yang kemudian tersusun menjadi buku Al
Din wa AI- Tsaurah. Sementara itu, dari tahun 1980 sampai 1983 ia
menjadi profesor tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 di Emirat Arab.
Ia pun diminta untuk merancang berdirinya Universitas Fes ketika ia
mengajar di sana pada tahun-tahun 1983-1984.6
Hanafi berkali-kali mengunjungi
negara-negara Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Perancis, Jepang,
India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun
1980-1987. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar di
negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam
memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh dunia Islam.
Maka, dari pengalaman hidup yang
ia peroleh sejak masih remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu
besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, meskipun tidak secara
sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun
banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan-pergerakan
yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam bidang akademis dan
intelektual, baik secara formal maupun tidak, dan pertemuannya dengan
para pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya
sehingga mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan
besar umat Islam.
C. Perkembangan Pemikiran dan Karya-Karyanya
Untuk memudahkan uraian pada
bagian ini, kita dapat mengklasifikasikan karya-karya Hanafi dalam tiga
periode seperti halnya yang dilakukan oleh beberapa penulis yang telah
lebih dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Periode pertama berlangsung
pada tahun-tahun 1960-an; periode kedua pada tahun-tahun 1970-an, dan
periode ketiga dari tahun-tahun 1980-an sampai dengan 1990-an.
Pada awal dasawarsa 1960-an
pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang
di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga
dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,7 dan oleh situasi nasional
yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan
Israel pada tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1966),
sebagaimana telah dikemukakan, Hanafi sedang berada dalam masa-masa
belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi lebih banyak lagi
menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan
hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu,
selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, terutama,
metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori
hukum Islam, Islamic legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai
metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer.
Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor
pada Universitas Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis disertasi
yang berjudul Essai sur la Methode d’ Exegese (Esai tentang Metode
Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu memperoleh penghargaan
sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya
itu jelas Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih pada mazhab
filsafat fenomenologi Edmund Husserl.8
Pada fase awal pemikirannya itu,
tulisan-tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah murni. Baru pada akhir
dasawarsa itu ia mulai berbicara tentang keharusan Islam untuk
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan berdimensi pembebasan
(taharrur, liberation).9 Ia mensyaratkan fungsi pembebasan jika memang
itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat pada kebebasan
dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai ukuran utamanya.
Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan kebulatan
kerangka pemikiran sebagai resep utamanya.10 Hanafi sampai pada
kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi
populistik yang ada.
Pada akhir periode ini, dan
berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hanafi juga memberikan perhatian
utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umatIslam dalam perang melawan
Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat
populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai
media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar
Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai
sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir. Buku
ini memberikan deskripsi tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis
tentang tugas para pemikir dalam menanggapi problema umat, dan tentang
pentingnya pembaruan pemikiran Islam untuk menghidupkan kembafi khazanah
tradisional Islam. Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan
Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan
pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami
persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa
pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain Spinoza, Voltaire, Kant,
Hegel, Unamuno, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, dan
Herbert Marcuse.11
Kedua buku itu secara
keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan analisis yang berkaitan
dengan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi umat lslam
sendiri yang lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. Untuk yang
pertama penekanan diberikan pada upaya pemberdayaan umat, terutama dari
segi pola pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan
bagaimana menekan superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua
pendekatan inilah yang nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru
yang tertuang dalam dua buah karyanya, yaitu Al-Turats wa al-Tajdid
(Tradisi dan Pembaruan), dan Al-Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara
tahun-tahun 1971-1975, Hanafi juga menganalisis sebab-sebab ketegangan
antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, terutama antara kekuatan
Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat yang sama situasi politik
Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa peristiwa
penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-Barat dan
memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada Oktober
1981. Keadaan itumembawa Hanafi pada pemikiran bahwa seorang ilmuan juga
harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk
itulah kemudian ia menulis Al-Din wa al-Tsaurah fi Mishr 1952-1981.
Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel
yang ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan diterbitkan pertama kali
pada tahun 1987. Karya itu berisi pembicaraan dan analisis tentang
kebudayaan nasional dan hubungannya dengan agama, hubungan antara agama
dengan perkembangan nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan “Kiri
Keagamaan” yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer,
fundamentalisme Islam, serta “Kiri Islam dan Integritas Nasional”. Dalam
analisisnya Hanafi menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik
berkepanjangan di Mesir adalah tarik-menarik antara ideologi Islam dan
Barat dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan bukti-bukti penyebab
munculnya berbagai tragedi politik dan, terakhir, menganalisis penyebab
munculnya radikalisme Islam.
Karya-karya lain yang ia tulis
pada periode ini adalah Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat
al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran yang ditulisnya
antara tahun 1972-1976 ketika ia berada di Amerika Serikat, dan terbit
pertama kali pada tahun 1977. Pada bagian pertama buku ini ia
merekomendasikan metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam,
Kristen, dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan
hubungan antara agama dengan revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan
fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas
umat Islam.12
Sementara itu Dirasat
Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat
deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilinu keislaman klasik,
seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan
pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara
tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan
dengari realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu
dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh
kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa
sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa
al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan
landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan
langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri
Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah “manifesto politik”
yang berbau ideologis, sebagaimana telah saya kemukakan secara singkat
di atas.
Jika Kiri Islam baru merupakan
pokok-pokok pikiran yang belum memberikan rincian dari program
pembaruannya, buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang
ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988.
Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia
canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu. Oleh karena
itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hanafi
yang paling monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang
sangat penting dari buku ini adalah gagasan rekonstruksi ilmu kalam.
Pertama-tama ia mencoba menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam,
baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan metodologi maupun
perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan
kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas. Salah
satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat
teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekomendasikan
sebuah teologi atau ilmu kalam yang antroposentris,13 populis, dan
transformatif.
Selanjutnya, pada tahun-tahun
1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam
berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis,
Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu
kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang berjudul Religion, Ideology,
and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya
juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2
jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam
karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi juga berisi kajian-kajian
ilmu sosial, seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada
karya karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan
posisi agama serta fungsinya dalam pembangunan di negara-negara dunia
ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya,
Hanafi tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu melainkan tentang
paradigma baru yang sesuai dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan
hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam diri Hanafi ini antara
lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat
yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir pada
dasawarsa 1970-an. Paradigma baru ini ia kembangkan sejak paroh kedua
dasawarsa 1980-an hingga sekarang.14
Pandangan universalistik ini di
satu sisi ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan keislaman dari
kehidupan kaum muslimin ke dalam upaya penegakan martabat manusia
melalui pencapaian otonomi individual bagi warga masyarakat; penegakan
kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM, dan penguatan (empowerment) bagi
kekuatan massa rakyat jelata.15
Pada sisi lain, paradigma
universalistik yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari pengembangan
epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang Islam, menurut Hanafi, tidak
butuh hanya sekadar menerima dan mengambil alih paradigma ilmu
pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada materialisme, melainkan juga
harus mengikis habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu
pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif dengan peradaban Barat
itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. Dan
upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan kepada
ilmu-ilmu kebaratan (al-Istighrab, Oksidentalisme)16 sebagai imbangan
bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, Orientalisme). Oksidentalisme
dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya,
sehingga dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan
kebijakan yang diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka panjang.17
Dengan pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan Islam untuk
menjadi mitra bagi peradaban-peradaban lain dalam penciptaan peradaban
dunia baru dan universal.
D. Pandangan Hassan Hanafi tentang Teologi Tradisional Islam
Di muka telah kita lihat,
meskipun dalam beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, Hanafi banyak
menyerap dan mengonsentrasikan diri pada kajian emikir Barat pra-modern
dan modern. Oleh karena itu, Shimogaki mengkatagorikan Hanafi sebagai
seorang odernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat, demokrasi,
rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.18
Pemikiran Hanafi sendiri,
menurut Isaa J. Boulatta dalam Trends and lssues in Contemporary Arabs
Thought bertumpu pada tiga landasan: 1) tradisi atau sejarah Islam; 2)
metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial Marxian.19 Dengan demikian
dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam dapat disebut sebagai
pengetahuan yang terbentuk atas dasar watak sosial masyarakat (socially
contructed) berkelas yang merupakan ciri khas tradisi Marxian.
Dalam gagasannya tentang
rekonstruksi teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah
orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai
dengan perubahan konteks sosial-politik yang terjadi. Teologi
tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti
keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh
wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan
untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya.
Dialektika berasal dari dialog dan mengandung pengertian saling menolak;
hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan dialektika konsep-konsep
tentang sifat masyarakat atau tentang sejarah.
Sementara itu konteks
sosio-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan
di berbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonisasi. Karena itu,
lanjut Hanafi, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang
berasal dari kebudayaan klasik harus diubah menjadi kerangka konseptual
baru, yang berasal dari kebudayaan modern.20
Teologi merupakan refleksi dari
wahyu yang memanfaatkan kosakata zamannya dan didorong oleh kebutuhan
dan tujuan masyarakat; apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan
keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, atau barangkali hanya
merupakan cita-cita dan nilai atau pernyataan egoisme murni.21 Dalam
konteks ini, teologi merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan
masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab suci. Ia.menegaskan, tidak
ada arti-arti yang betul-betul berdiri sendiri untuk setiap ayat Kitab
Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, adalah sejarah proyeksi keinginan
manusia ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi atau. penafsir
melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka lihat. Ini
menunjukkan bagaimana manusia menggantungkan kebutuhan dan tujuannya
pada naskah-naskah itu.22
Teologi dapat berperan sebagai
suatu ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau sebagai suatu
pembenaran penjajahan oleh para penindas.23 Teologi memberikan fungsi
legitimatif bagi setiap perjuangan kepentingan dari masing-masing
lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi menyimpulkan bahwa
tidak ada kebenaran obyektif atau arti yang berdiri sendiri, terlepas
dari keinginan manusiawi.24 Kebenaran teologi, dengan demikian, adalah
kebenaran korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, persesuaian antara
arti naskah asli yang berdiri sendiri dengan kenyataan obyektif yang
selalu berupa nilai-nilai manusiawi yang universal. Sehingga suatu
penafsiran bisa bersifat obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang
sama pada setiap ruang dan waktu.25
Hanafi menegaskan bahwa
rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya
tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan
ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang
terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu
menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas
duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk
tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan
argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai
masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang
bertentangan.26
Rekonstruksi itu bertujuan untuk
mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi harapan-harapan dunia
muslim terhadap kemendekaan, kebebasan, kesamaan sosial, penyatuan
kembali identitas, kemajuan dan mobilisasi massa.27 Teologi baru itu
harus mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai tujuan perkataan
(kalam) dan sebagai analisis percakapan. Karena itu pula harus tersusun
secara kemanusiaan.28
Asumsi dasar dari pandangan
teologi semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan Hanafi, adalah
protes, oposisi dan revolusi.29 Baginya, Islam memiliki makna ganda.
Pertama, Islam sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh kekuatan
politik kelas atas. Kedua, Islam sebagai revolusi, yang diberlakukan
oleh mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang miskin. Jika untuk
mempertahankan status-quo suatu rezim politik, Islam ditafsirkan sebagai
tunduk. Sedang jika untuk memulai suatu perubahan sosial politik
melawan status-quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai pergolakan.30
Secara generik, istilah aslama
adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan kepada apa pun yang lain.
Pengertian ini secara langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu
menolak segala kekuasaan yang tidak transendental dan menerima kekuasaan
transendental.31 Makna ganda dari kata kerja aslama dan kata benda
Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja disalahgunakan untuk mendorong
Islam cenderung pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka
rekonstruksi teologi tradisional itu berarti pula untuk menunjukkan
aspek lain dari Islam yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni
penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan kebutuhan aktual
masyarakat muslim.32 Di dalam hal ini, karena selalu terkait dengan
masyarakat, refleksi atas nilai-nilai universal agama pun mengikuti
bentuk dan struktur kemasyarakatan, struktur sosial dan kekuatan
politik.
E. Penutup
Dunia Islam saat ini telah
terkooptasi oleh Barat, baik sistem, kepentingan, struktur maupun
kultur. Hal ini sebagai dampak kolonialisme dan imperialisme. Masyarakat
Islam punya ketergantungan yang sangat besar terhadap Barat. Dunia
Barat berusaha meng-’hegemoni’ kultur Islam, termasuk tentang Islam itu
sendiri. Barat mengupayakan pemahaman Islam versi Barat, supaya dapat
diterima oleh dunia Islam. Itulah cara Barat untuk mencabut lebur akar
sejarah Islam dari sumber aslinya, Alquran dan Hadis.
Merespon kondisi tersebut, Hasan
Hanafi dengan Kiri Islamnya sangat menentang peradaban Barat, khususnya
imperialisme ekonomi dan kebudayaan. Hasan Hanafi memperkuat umat Islam
dengan memperkokoh tradisinya sendiri. Karena itu, tugas Kiri Islam
yang merupakan salah satu gagasan progressifnya adalah: Pertama,
melokalisasi Barat pada batas-batas alamiahnya dan menepis mitos dunia
Barat sebagai pusat peradaban dunia serta menepis ambisi kebudayaan
Barat untuk menjadi paradigma kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Kedua,
mengembalikan peradaban Barat pada batas-batas kebaratannya.
asal-usulnya, kesesuaian dengan latar belakang sejarahnya, agar Barat
sadar bahwa terdapat banyak peradaban dan banyak jalan menuju jalan
kemajuan. Ketiga, Hasan Hanafi menawarkan suatu ilmu untuk menjadikan
Barat sebagai objek kajian, yakni sebagaimana yang dia tulis dalam
Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Pengantar Oksidentalisme).
Oksidentalisme bagi Hasan Hanafi merupakan suatu upaya menandingi
Orientalisme dan meruntuhkannya hingga ke akar-akarnya. Untuk
mengembalikan citra Islam, ia memberikan jalan dengan melakukan
reformasi agama, kebangkitan rasionalisme dan pencerahan.
Daftar Pustaka dan Footnote
DAFTAR PUSTAKA
Boulatta, Issa J., Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, terjemah: Saiful Mujani, dalam Islamika, Edisi, I, Juni-Sept, 1993, h. 21
Hanafi, Hassan, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15, 1989
-------, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, 1987
-------, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, I983), cet. ke-2
-------, Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991, Cet. Ke-1
-------, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991, Cet. Ke-1
-------, Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1991
-------, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, dalam Prisma 4, April 1984, h. 39
Iwad, Luwis, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989)
Shimogaki, Kazuo, , Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988
-------, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terjemah: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Jogjakarta: LkiS, 2007, Cet. Ke-7
==============================
1 Lihat Luwis: ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989, h. 133
2 Perkembangan ini bisa kita lihat, di antaranya, dalam Hassan Hanafi, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15, 1989
3 Lebih lanjut lihat Hassan Hanafi, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15, 1989, Ibid.
4 Pengaruh-pengaruh intelektual dari tokoh-tokoh tersebut terlihat pada karya-karya awalnya. Hal ini juga diterangkan dalam, misalnya, Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987, h. 332
5 Lihat, Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, 1983, cet. ke-2, h. 7
6 Lihat, al-Azminat, Loc.Cit.
7 Lihat lebih lanjut, Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terjemah: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Jogjakarta: LkiS, 2007, Cet. Ke-7, h. xi.
8 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya, h. xi.
9 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, h. xiii.
10 Lihat Abdurrahman Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991, Cet. Ke-1, h, xi.
11 Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir, Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990, cet. ke-4.
12 Lihat, Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991, Cet. Ke-1, h. 13
13 Arthur Schopenhauer, seorang filosof Barat modern, pernah memberikan gagasan agar teologi juga berarti bermakna dan berisi Antropologi. Maksudnya, ia menghendaki agar teologi tidak melulu berbicara tentang Tuhan, tetapi harus muIai berbicara tentang manusia.
14 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya, h. xvi.
15 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, Ibid.
16 Gagasan awal ini kemudian ia tuangkan dalam bukunya Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1991.
17 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, Ibid., h. xvii.
18 Lihat catatan kaki buku Shimogaki, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (selanjutnya disebut Between Modernity), (Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988), h. 14.
19 Issa J. Boullatta, Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, terjemah: Saiful Mujani, dalam Islamika, Edisi, I, Juni-Sept, 1993, h. 21
20 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991, Cet. Ke-1, h. 6.
21 Lihat, Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, dalam Prisma 4, April 1984, h. 39.
22 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, Ibid.
23 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, Ibid.
24 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, Ibid.
25 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam , Ibid., h. 40.
26 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, h. 7
27 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.
28 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.
29 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.,h. 103.
30 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.,h. 104.
31 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid., h. 103.
32 Ibid., h. 103-104
Boulatta, Issa J., Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, terjemah: Saiful Mujani, dalam Islamika, Edisi, I, Juni-Sept, 1993, h. 21
Hanafi, Hassan, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15, 1989
-------, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, 1987
-------, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, I983), cet. ke-2
-------, Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991, Cet. Ke-1
-------, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991, Cet. Ke-1
-------, Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab, yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1991
-------, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, dalam Prisma 4, April 1984, h. 39
Iwad, Luwis, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989)
Shimogaki, Kazuo, , Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading, Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988
-------, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terjemah: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Jogjakarta: LkiS, 2007, Cet. Ke-7
==============================
1 Lihat Luwis: ‘Iwad, Dirasat fi al-Hadlarat, Kairo: Dar al-Mustaqbal al-‘Arabiy, 1989, h. 133
2 Perkembangan ini bisa kita lihat, di antaranya, dalam Hassan Hanafi, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15, 1989
3 Lebih lanjut lihat Hassan Hanafi, Al-Salafiyat wa al-‘Ilmaniyat fi Fikrina al-Mu’ashir, dalam al-Azminat, III, 15, 1989, Ibid.
4 Pengaruh-pengaruh intelektual dari tokoh-tokoh tersebut terlihat pada karya-karya awalnya. Hal ini juga diterangkan dalam, misalnya, Hassan Hanafi, Al-Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 1952-1981, Vol. VII, Kairo: A1-Maktabat a1-Madbuliy, I987, h. 332
5 Lihat, Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina al-Mu`ashir, Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba`at al-Nasyr, 1983, cet. ke-2, h. 7
6 Lihat, al-Azminat, Loc.Cit.
7 Lihat lebih lanjut, Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya” dalam Kazuo Shimogaki, Kiri Islam Antara Modernisme dan Postmodernisme: Telaah Kritits Pemikiran Hassan Hanafi, terjemah: M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula, Jogjakarta: LkiS, 2007, Cet. Ke-7, h. xi.
8 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya, h. xi.
9 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, h. xiii.
10 Lihat Abdurrahman Wahid, Pengantar, dalam Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991, Cet. Ke-1, h, xi.
11 Hassan Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi al-Fikr al-Gharb al-Mu’ashir, Beirut: Al-Muassasat al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tauzi, 1990, cet. ke-4.
12 Lihat, Hassan Hanafi, Dialog Agama dan Revolosi, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991, Cet. Ke-1, h. 13
13 Arthur Schopenhauer, seorang filosof Barat modern, pernah memberikan gagasan agar teologi juga berarti bermakna dan berisi Antropologi. Maksudnya, ia menghendaki agar teologi tidak melulu berbicara tentang Tuhan, tetapi harus muIai berbicara tentang manusia.
14 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya, h. xvi.
15 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, Ibid.
16 Gagasan awal ini kemudian ia tuangkan dalam bukunya Al-Mukaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1991.
17 Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan Eksperimentasinya”, Ibid., h. xvii.
18 Lihat catatan kaki buku Shimogaki, Between Modernity and Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: A Critical Reading (selanjutnya disebut Between Modernity), (Japan: The Institute of Middle Eastern Studies, 1988), h. 14.
19 Issa J. Boullatta, Hasan Hanafi Terlalu Teoritis Untuk Dipraktekkan, terjemah: Saiful Mujani, dalam Islamika, Edisi, I, Juni-Sept, 1993, h. 21
20 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta, P3M, 1991, Cet. Ke-1, h. 6.
21 Lihat, Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, dalam Prisma 4, April 1984, h. 39.
22 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, Ibid.
23 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, Ibid.
24 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam, Ibid.
25 Hassan Hanafi, Pandangan Agama tentang Tanah, Suatu Pendekatan Islam , Ibid., h. 40.
26 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, h. 7
27 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.
28 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.
29 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.,h. 103.
30 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid.,h. 104.
31 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Ibid., h. 103.
32 Ibid., h. 103-104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar