Kamis, 14 Februari 2013

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM (Bag. 5-selesai)

STUDI ISLAM PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno.
STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  HISTORIS
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah meninjau suatu permasalahan dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya. Sejarah memang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjau masa kini dan ahli sejarah dapat benar-benar memahami peristiwa atau kejadian masa kini hanya dengan petunjuk-petunjuk dari peristiwa kejadian masa lalu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu orang dapat mempelajari masa kininya dan dengan memahami serta menyadari keadaan masa kini maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itulah yang dimaksud dengan perspektif sejarah. Di dalam studi Islam, permasalahan atau seluk beluk dari ajaran agama Islam pelaksanaan serta perkembangannya dapat ditinjau dan dianalisis dalam kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.
STUDI  ISLAM PENDEKATAN  KAWASAN
Pokok bahasan setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama  adalah fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan, seperti do’a, upacara-upacara ritual, konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat dalam mitos dan simbol, kepercayaan berkenaan dengan yang suci dan sakral, makhluk-makhluk supernatural, dan sebagainya. Penyelidikan terhadap fenomena agama tersebut dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai disiplin tersebut memeriksanya dari aspek-aspek khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya. Wilayah agama tentu selalu merujuk pada tipe karakteristik tertentu terhadap data yang ada seperti kepercayaan, praktik, perasaan, keadaan jiwa, sikap, pengalaman, dan lain-lain. Oleh karena itu bangsa yang berbeda menunjukkan karakteristik atau pengalaman yang berbeda pula. Demikian pula agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat, dan perdamaian batin individu, sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme sektarian, dan sifat tidak toleran, pengacuhan, dan kesia-siaan.
Disamping itu agama memiliki kecenderungan untuk menjadi sponsor ketakhayulan, magic, dogmatik, kepercayaan, mudah percaya tanpa dipikir dahulu dan kepercayaan pada supernatural. Sebaliknya agama pun telah memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner. Sehubungan dengan persoalan ini timbul pertanyaan atau bahkan keragu-raguan yang ditujukan kepada hakekat ilmu agama. Apakah ia merupakan disiplin ilmu yang bersifat teologis, filosofis, historis atau sosiologis?
Perkembangan awal studi agama biasanya melihat perkembangan agama dari interpretasi sosiologis yang menyebut agama sebagai ‘ilmu primitif’ sehingga sampai pada studi tentang struktur dalam agama dan berusaha menjelaskan model ilmiah dalam agama. Jika dikategorisasikan, interpretasi agama ini dapat dibagi ke dalam empat bentuk; intelektualis, fungsionalis, simbolis dan strukturalis. Di sebut penelitian agama bukan hanya karena metodenya, tetapi karena bidang kajiannya. Pada intinya, bidang kajian agama ada dua, yakni beliefs (ajaran) dan practices (praktik-praktik agama atau keagamaan). Ajaran adalah teks, baik tulisan maupun lisan, yang sakral dan menjadi rujukan bagi pemeluk agama. Keberagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung pada ajaran. Keberagamaan muncul dalam lima dimensiaa: ideologis, intelektual, ekspresiensial, ritualistik, dan konsekuensial. Ada problem lain yang muncul sebagai tantangan dalam studi Islam sehubungan dengan kajian-kajian agama yang menggunakan disiplin empiris ini. Misalnya, bisakah agama didekati secara ilmiah ? Bukankah agama sudah mutlak benar karena didasarkan kepada wahyu? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mirip.
SEBUAH AKHIR PENDEKATAN STUDI ISLAM
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama pada masa sebelum abad ke –19 memiliki beberapa karakteristik yaitu, sinkritisme, penemuan area baru, dan untuk kepentingan misionari. Dipicu oleh semangat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi agama mengalami perubahan.
Studi-studi agama tidak lagi bersifat bersifat primordial atau bersifat hanya untuk kepentingan penyebaran agamanya, tetapi lebih didorong oleh semangat metodologis atau ilmiah, yakni berangkat atas dasar kepentingan dan perkembangan ilmu pegetahuan. Maka muncullah berbagai kajian agama dengan metode dan pendekatan yang beragam pula, sesuai dengan kecenderungan dan keahlian akademik para masing-masing sarjana (penstudi) itu sendiri.
Beberapa kecenderungan pengkajian agama dapat dilihat setidaknya atas tiga alasan, yaitu; pertama, kemajuan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemikiran-pemikiran ilmiah mempengaruhi dinamika beragam sehingga minat intelektual untuk mengkaji agama secara lebih mendalam sangat tinggi. Kedua, kecenderungan untuk merekonstruksi agama dalam upaya mengembangkan semua urusan dunia. Ketiga, pengaruh-pengaruh sosial, politik, dan peristiwa-peristiwa internasional yang mempengaruhi agama-agama.
Dari berbagai macam pendekatan studi Islam di atas timbul suatu metode studi Islam yang secara lebih rinci dan dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkon aspek sejarah, metode ini memberikan kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Lebih lanjut umat Islam mampu menelaah kejadian sejarah dan mengetahui lahirnya tiap komponen, bagian subsistem dan supra sistem ajaran Islam. Wilayah metode ini lebih terarah pada aspek kognitif.
Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris yakni suatu metode pemahaman terhadap suatu pemahaman terhadap suatu kepercayaan sejarah atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan sejarah atau kejadian itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya di samping sirah nabi SAW dengan segala alam pikirannya.
2.      Metode Sinkronis-Analitis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis. Metode diakronis dan metode sinkronis analitis menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
  1. Islam adalah agama wahyu Illahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia.
  2. Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya (QS. Al-Maidah: 3)
  3. Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta komponen dengan bagian-bagiannya dan secara keseluruhan merupakan suatu struktur yang unik.
  4. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada yang ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali Imron: 104)
  5. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengn jalan yang hikmah dan penuh kebijaksanaan (QS. An-nahl: 125)
3.      Metode Problem Solving (hill al musykilat)
Metode mempelajari Islam untuk mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya.
4.      Metode Empiris (Tajribiyyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui prosed realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaktif dapat dirumuskan dan suatu sistem norma baru.
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
  1. Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam (QS. Ali Imron: 104)
  2. Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah (QS. Al-fath: 29)
  3. Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat (Asy-Syura: 13).
  4. Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan (QS. Al-baqoroh: 120, at-Taubah: 122)
  5. Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif (QS. Fushilat: 53)
5.      Metode Deduktif
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah yang dihadapi.
6.      Metode Induktif (al-Marhal al-Istiqariyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu:
  1. Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik yang umum.
  2. Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya bahasan yang tidak relevan.
  3. Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya dan
  4. Implikasi formulasi yang baru tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar