Kamis, 14 Februari 2013

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM (Bag. 1)

SEBUAH PENGANTAR
Sebuah kotak korek api yang dipegang miring sehingga orang yang di sebelah kanan akan melihat suatu gambar sedang orang yang berada di sebelah kiri akan melihat gambar yang berbeda dengan apa yang dilihat orang di samping kanan. Semuanya melihat korek api tapi dalam perpekstif yang berbeda. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang lain yang berdiri di sisi yang berlawanan dengan kita, apalagi yang sifatnya menghujat atau menyalahkannya. Karena kita tidak berdiri pada sisi yang sama dengannya.
Kebenaran yang hakiki adalah milik Allah, dan kita manusia mempunyai keterbatasan dalam menaksir suatu kebenaran. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah, tapi ketika berbeda pendapat, kepala harus tetap dingin, dan menghargai orang lain yang berbeda pendapat dengan kita.
Adalah sesuatu yang sangat zalim, ketika tercipta pertengkaran dan konflik akibat perbedaan pandangan, pemikiran dan pendapat. Apalagi ketika merasa diri kita paling benar dan kemudian menuduh orang lain kafir. Allah swt telah berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu orang yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 256)
Alquran menyebutkan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Ini berarti bahwa kebebasan beragama merupakan keniscayaan. Ini merupakan  hak  asasi  manusia  yang  harus  dihormati.  Adalah  hak,  bahkan  kewajiban setiap orang untuk meyakini bahwa agamanyalah yang benar, tetapi pada saat yang sama dia harus menghormati orang lain untuk bersikap sama terhadap agamanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali terjadi perang klaim tentang kebenaran dan janji keselamatan. Hanya agamanyalah yang benar, dan karenanya hanya penganut agama itu yang akan masuk surga dan mendapat kasih Tuhan. Agama lain adalah agama yang sesat, dan karena itu penganutnya tidak berhak memperoleh surga dan kasih Tuhan. Mereka  akan masuk  neraka dan akan mendapatkan murka-Nya.  Adalah hak,  bahkan kewajiban setiap orang untuk meyakini bahwa agamanyalah yang benar, tetapi pada saat yang sama dia harus menghormati orang lain untuk bersikap sama terhadap agamanya Padahal, yang maha benar  dan maha tahu  hakikat kebenaran hanyalah Tuhan. Manusia hanya mencari tahu dan berupaya  memperoleh apa yang dimaksudkan benar oleh Tuhan itu. Demikian pula dengan surga dan neraka. Bukankah pemiliknya adalah Tuhan? Berarti, yang berhak memasukkan ke sana pun hanyalah Dia. Kewenangan itu sepenuhnya  merupakan hak prerogatif-Nya.
Sungguh merupakan kesombongan luar biasa, siapa pun manusia yang mengaku dapat memasukkan ke surga atau ke neraka. Karena hal itu, sama dengan memposisikan dirinya  dengan  Tuhan.  Setidaknya,  telah  mengambil  alih  kewenangan-Nya. Mungkin perlu dikemukakan, bahwa berdasarkan firman Allah, “surga itu luasnya seluas langit dan bumi”. Dibuat seluas itu, nampaknya, supaya dapat menampung seluruh umat yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya, sejak umat nabi/rasul pertama (Nabi Adam) hingga umat nabi/ rasul yang terakhir (Nabi Muhammad saw.). Rasa-rasanya, surga itu terlalu luas kalau hanya dihuni oleh penganut agama tertentu, apalagi kalau oleh warga NU, Muhammadiyah, atau PUI saja.
Oleh karena itu, diperlukan saat ini adanya ukhuwah basyariyah, adalah menuntut  dikembangkan paham Multikulturisme, suatu pandangan yang mendorong untuk menghormati pihak lain yang berbeda, bukan karena mengakui kebenaran agama lain itu, tetapi karena setiap orang harus menghormati tradisi pihak lain dalam menyembah Tuhan.

PENDEKATAN STUDI ISLAM
Studi islam atau studi keislaman (Islamic studies) merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas Islam, baik sebagai ajaran, kelembagaan, sejarah maupun kehidupan umatnya.  Dimaklumi  bahwa Islam sebagai agama dan  sistem ajaran telah  menjalani proses akulturasi, transmisi dari generasi ke generasi dalam rentang waktu yang panjang dan dalam  ruang budaya yang beragam. Proses ini melibatkan tokoh-tokoh agama, mulai dari Rasulullah saw., para sahabat, sampai ustadz dan para pemikir Islam sebagai pewaris dan perantara yang hidup. Secara kelembagaaan proses transmisi ini berlangsung di berbagai institusi mulai dari keluarga, masyarakat, mesjid, kuttab, madrasah, pesantren, sampai al-jamiah.  Dalam proses tersebut  para  pemeluk  agama  ini telah  memberikan respon, baik dalam pemikiran ovensif maupun devensif terhadap ajaran, ideologi atau pemikiran dari luar agama yang diyakininya itu. Dengan demikian, studi keislaman, dilihat dari ruang lingkup kajiannya, berupaya mengkaji Islam dalam berbagai aspeknya dan dari berbagai perspektifnya.
Studi ini menggunakan pola kajian Islamic studies sebagaimana berkembang dalam tradisi akademik  modern  (barat).  Pola  ini  tidak  sama  dengan  pengertian  pendidikan agama Islam (al-tarbiyah al-islamiyah), yang secara konvensional lebih merupakan proses transmisi  ajaran  agama,  yang  melibatkan aspek  kognitf (pengetahuan  tentang  ajaran Islam), afektif dan psikomotor (menyangkut sikap dan pengalaman ajaran). Pola kajian yang dikembangkan dalam studi ini adalah upaya kritis terhadap teks, sejarah, dokrin, pemikiran dan istitusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendektan tertentu,seperti Kalam, Fiqh, fisafat, tasawuf, historis, antropologis, sosiologis, psikologis, yang secara populer di kalangan akademik dianggap ilmiah. Dengan pendekatan ini kajian tidak disengajakan untuk menemukan atau mempertahankan keimanan atas kebenaran suatu konsep atau ajaran tertentu, melainkan mengkajinya secara ilmiah, yang terbuka ruang  di dalamnya  untuk ditolak, diterima, maupun dipercaya  kebenarannya. Kajian dengan pendekatan semacam ini banyak dilakukan oleh para orientalis atau islamis yang memposisikan diri sebagai outsider (pengkaji islam daru luar) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim) dalam studi keislaman kontemporer.

Agama islam ada diantara normatif dan historian, tekstual dan kontekstual. Ada 5 bentuk gejala agama:
  1. Teks, naskah, sumber ajaran, dan simbol-simbol
  2. Penganut , pemimpin, pemuka agama
  3. Ritus ibadat, lembaga
  4. Alat-alat (mesjid, topi/kopiah/peci, sorban, jilbab, dan lain-lain)
  5. Organisasi
Islam sebagai produk sejarah:
  1. Islam Syiah
  2. Islam Sunni
  3. Nadhatul Ulama
  4. Muhammadiyah
  5. Ahmadiyah, dan lain-lain.
Agama dalam bahasa adalah religion, din, millah, yang berarti :
  • pengakuan adanya hubungan manusia dengan yang gaib yang harus
  • dipatuhi pengakuan adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia
  • Pengakuan pada sumber diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan manusia
  • Kepercayaan pada kekuatan gaib

STUDI  AL-QURAN
Al-Quran dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Quran sebagai tersurat dari nama-namanya adalah sebagai berikut:
  1. Al Huda (petunjuk). Dalam Al-Quran terdapat tiga kategori tentang posisi Al-Quran:  petunjuk  bagi menusia secara umum (QS.  Al-Baqarah: 185), Alquran sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah: 2), dan sebagai petunjuk bagi orang beriman (QS. Fushilat: 44).
  2. Al-Furqan (pemisah) antara yang hak dan yang batil.
  3. Al-Shifa (obat), berfungsi sebagai obat  bagi penyakit  yang  ada di dalam dada/jiwa (QS. Yunus : 570).
  4. Al-Mau’idzah/nasihat (QS. Ali Imran: 138).
  5. Al-Mubin/yang  menerangkan (QS.  Al-Maidah : 15).
  6. Al-Mubarak/yang diberkati (QS Al-An’am : 92).
Al-Quran berisi 30 juz, 114 surat, dan ± 6236 ayat. Ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Quran terdiri dari :
  • Ayat Makkiyah    : sebagai ayat-ayat pokok yang terdiri dari ± 4789 ayat
  • Ayat Madaniyah : sebanyak ± 1456 ayat
Apabila ada pertentangan antara makkiyah dan madaniyah, maka yang dipilih adalah Madaniyah, sedangkan pendapat lainnya adalah sebaliknya.
Rincian penganturan ayat-ayat dalam Al-quran:
  • ± 10 ayat tentang hubungan antara kaya dan miskin
  • ± 10 ayat tentang kenegaraan
  • ± 13 ayat tentang pengadilan
  • ± 25 ayat tentang hubungan muslim dan non muslim
  • ± 30 ayat tentang pidana
  • ± 70 ayat tentang kekeluargaan, perkawinan, dan waris
  • ± 70 ayat tentang perekonomian, jual beli, sewa, pinjam meminjam
  • ± 136 ayat tentang keimanan, tuhan, malaikat, Rasul, Kitab dan hari Akhir
  • ± 140 ayata tentang ibadah, sholat, zakat, puasa, haji
  • ± 150 ayat tentang sains (fenomena alam)
  • ± 228 ayat yang mengatur dasar-dasar kemasyarakatan, dan seterusnya.
Al-Quran merupakan hujjah bagi umat manusia dan hukum-hukum yang ada didalamnya merupakan undang-undang yang harus ditaati, karena Al-Quran diturunkan oleh Allah dengan jalan qoth’i (absolut), yang kebenarannya tidak boleh diragukan, alasan lain bahwa Al-quran sebagai mukjizat mampu menundukan manusia yang mau mencoba-coba meniru Al-Quran itu memang ternyata tidak ada yang mampu meniru.
Macam-macam hukum di dalam Al-Quran :
  1. Hukum aqidah (ahkam ’itiqodiyah) yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang harus dipercaya oleh mukalaf, yang disebut rukun iman.
  2. Hukum-hukum akhlak (Ahkam Khuluqiyah) yaitu hukum yang berkaitan erat dengan masalah yang harus dipakai setiap mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad), dan menghindarkan diri dari kehinaan.
  3. Hukum Amaliyah (Ahkam ’Amaliyah) yaotu hukum yang erat hubungannya dengan seluruh tidakan atau perbuatan mukalaf, baik ucapan, perbuatan, perjanjian (akad) dan kegiatan –kegiatan lainnya dan hidup sehari-hari.
Bila dilihat dari segi hukumnya terbagi 2 bagian yaitu nash yang qoth’i (yang menunjukkan makna tertentu dan tidak mungkin menerima takwil, atau tidak ada pengertian yang lain selain makna tersebut) dan nash yang dzanni (nash yang menunjukkan makna yang mungkin menerima takwil atau mungkin dipalingkan makna asalnya kepada makna yang lain). Dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa nash tersebut mempunyai beberapa pengertian dan penafsiran.
Sebab-sebab terjadinya perbedaan dalam menafsirkan ayat Al-Quran :
  • Beda dalil yang dipakai
  • Beda Paham tentang dalil
  • Beda Metoda ijtihad
  • Beda Konsep Masalah
Beberapa persoalan tentang Al-Quran :
  • Al-Quran Mahluk / kalamullah?
  • Sistematis Al-Quran , siapa yang menyusunnya
  • Mengapa Indonesia tidak memakai hukum Islam
  • Bermazhab
  • Bid’ah
  • Hadis hubungannya dengan Al-Quran
Kalau ada perbedaan pandangan tentang Islam, lalu dikembalikan pada Al-Quran dan hadist, persoalan tidak begitu saja selesai. Sebab ayat yang terdapat dalam Al-Quran sebagai berpotensi untuk diartikan lain. Al-Quran sebagai gudang, petunjuk, obat, yang dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Jangan berada dalam perdebatan yang proporsional.

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM (Bag. 5-selesai)

STUDI ISLAM PENDEKATAN FENOMENOLOGIS
Ada dua hal yang menjadi karakteristik pendekatan fenomenologi. Pertama, bisa dikatakan bahwa fenomenologi merupakan metode untuk memahami agama orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi dalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan-diri sendiri (epoche), dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.
Aspek fenomenologi pertama ini—epoche—sangatlah fundamental dalam studi Islam. Ia merupakan kunci untuk menghilangkan sikap tidak simpatik, marah dan benci atau pendekatan yang penuh kepentingan (intertested approaches) dan fenomenologi telah membuka pintu penetrasi dari pengalaman keberagamaan Islam baik dalam skala yang lebih luas atau yang lebih baik. Konstribusi terbesar dari fenomenologi adalah adanya norma yang digunakan dalam studi agama adalah menurut pengalaman dari pemeluk agama itu sendiri. Fenomenologi bersumpah meninggalkan selama-lamanya semua bentuk penjelasan yang bersifat reduksionis mengenai agama dalam terminologi lain atau segala pemberlakuan kategori yang dilukiskan dari sumber di luar pengalaman seseorang yang akan dikaji. Hal yang terpenting dari pendekatan fenomenologi agama adalah apa yang dialami oleh pemeluk agama, apa yang dirasakan, diakatakan dan dikerjakan serta bagaimana pula pengalaman tersebut bermakna baginya. Kebenaran studi fenomenologi adalah penjelasan tentang makna upacara, ritual, seremonial, doktrin, atau relasi sosial bagi dan dalam keberagamaan pelaku.
Pendekatan fenomenologi juga menggunakan bantuan disiplin lain untuk menggali data, seperti sejarah, filologi, arkeologi, studi sastra, psikologi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Pengumpulan data dan deskripsi tentang fenomena agama harus dilanjutkan dengan interpretasi data dengan melakukan investigasi, dalam pengertian melihat dengan tajam struktur dan hubungan antar data sekaitan dengan kesadaran masyarakat atau individu yang menjadi objek kajian. Idealnya, bagi seorang fenomenologi agama yang mengkaji Islam harus dapat menjawab pertanyaan: apakah umat Islam dapat menerima sebagai kebenaraan tentang apa yang digambarkan oleh fenomenologis sebagaimana mereka meyakini agamanya? Apabila pertanyaan ini tidak dapat terjawab, maka apa yang dihasilkan melalui studinya bukanlah gambaran tentang keyakinan Islam.
Aspek Kedua dari pendekatan fenomenologi adalah mengkonstruksi rancangan taksonomi untuk mengklasifikasikan fenomena masyarakat beragama, budaya, dan bahkan epoche. Tugas fenomenologis setelah mengumpulkan data sebanyak mungkin adalah mencari kategori yang akan menampakkan kesamaan bagi kelompok tersebut. Aktivitas ini pada intinya adalah mencari struktur dalam pengalaman beragama untuk prinsip-prinsip yang lebih luas yang nampak dalam membentuk keberagamaan manusia secara menyeluruh.
Pendekatan fenomenologi menjadi populer di Amerika Utara dalam beberapa tahun terakhir ini karena pengaruh Mircea Eliade dan murid-muridnya, namun hampir tidak ada upaya untuk mengaplikasikan metode dan pendekatan ini untuk mengkaji Islam. Menurut Adams, penerapan pendekatan fenomenologi lebih baik untuk penelitian keberagamaan masyarakat yang diekspresikan terutama dalam bentuk non-verbal dan pre-rasional, oleh sebab itu fenomenologi lebih besar memfokuskan perhatiannya pada agama primitif dan agama kuno.
STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  HISTORIS
Yang dimaksud dengan pendekatan historis adalah meninjau suatu permasalahan dari sudut tinjauan sejarah, dan menjawab permasalahan serta menganalisisnya dengan menggunakan metode analisis sejarah. Sejarah atau histori adalah studi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lalu yang menyangkut kejadian atau keadaan yang sebenarnya. Sejarah memang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjau masa kini dan ahli sejarah dapat benar-benar memahami peristiwa atau kejadian masa kini hanya dengan petunjuk-petunjuk dari peristiwa kejadian masa lalu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu orang dapat mempelajari masa kininya dan dengan memahami serta menyadari keadaan masa kini maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itulah yang dimaksud dengan perspektif sejarah. Di dalam studi Islam, permasalahan atau seluk beluk dari ajaran agama Islam pelaksanaan serta perkembangannya dapat ditinjau dan dianalisis dalam kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.
STUDI  ISLAM PENDEKATAN  KAWASAN
Pokok bahasan setiap penyelidikan ilmiah terhadap agama  adalah fakta agama dan pengungkapannya. Bahan-bahan ini diambil dari pengamatan terhadap kehidupan dan kebiasaan keagamaan manusia, tatkala mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam tindakan-tindakan, seperti do’a, upacara-upacara ritual, konsep-konsep religiusnya sebagaimana termuat dalam mitos dan simbol, kepercayaan berkenaan dengan yang suci dan sakral, makhluk-makhluk supernatural, dan sebagainya. Penyelidikan terhadap fenomena agama tersebut dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu. Meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, berbagai disiplin tersebut memeriksanya dari aspek-aspek khusus yang sesuai dengan jangkauan dan tujuannya. Wilayah agama tentu selalu merujuk pada tipe karakteristik tertentu terhadap data yang ada seperti kepercayaan, praktik, perasaan, keadaan jiwa, sikap, pengalaman, dan lain-lain. Oleh karena itu bangsa yang berbeda menunjukkan karakteristik atau pengalaman yang berbeda pula. Demikian pula agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat, dan perdamaian batin individu, sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Tetapi agama telah pula dituduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme sektarian, dan sifat tidak toleran, pengacuhan, dan kesia-siaan.
Disamping itu agama memiliki kecenderungan untuk menjadi sponsor ketakhayulan, magic, dogmatik, kepercayaan, mudah percaya tanpa dipikir dahulu dan kepercayaan pada supernatural. Sebaliknya agama pun telah memperlihatkan kemampuannya melahirkan kecenderungan yang sangat revolusioner. Sehubungan dengan persoalan ini timbul pertanyaan atau bahkan keragu-raguan yang ditujukan kepada hakekat ilmu agama. Apakah ia merupakan disiplin ilmu yang bersifat teologis, filosofis, historis atau sosiologis?
Perkembangan awal studi agama biasanya melihat perkembangan agama dari interpretasi sosiologis yang menyebut agama sebagai ‘ilmu primitif’ sehingga sampai pada studi tentang struktur dalam agama dan berusaha menjelaskan model ilmiah dalam agama. Jika dikategorisasikan, interpretasi agama ini dapat dibagi ke dalam empat bentuk; intelektualis, fungsionalis, simbolis dan strukturalis. Di sebut penelitian agama bukan hanya karena metodenya, tetapi karena bidang kajiannya. Pada intinya, bidang kajian agama ada dua, yakni beliefs (ajaran) dan practices (praktik-praktik agama atau keagamaan). Ajaran adalah teks, baik tulisan maupun lisan, yang sakral dan menjadi rujukan bagi pemeluk agama. Keberagamaan adalah perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung pada ajaran. Keberagamaan muncul dalam lima dimensiaa: ideologis, intelektual, ekspresiensial, ritualistik, dan konsekuensial. Ada problem lain yang muncul sebagai tantangan dalam studi Islam sehubungan dengan kajian-kajian agama yang menggunakan disiplin empiris ini. Misalnya, bisakah agama didekati secara ilmiah ? Bukankah agama sudah mutlak benar karena didasarkan kepada wahyu? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang mirip.
SEBUAH AKHIR PENDEKATAN STUDI ISLAM
Studi-studi agama dewasa ini mengalami perubahan orientasi yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan kajian-kajian agama sebelum abad ke-19. Umumnya pengkajian agama pada masa sebelum abad ke –19 memiliki beberapa karakteristik yaitu, sinkritisme, penemuan area baru, dan untuk kepentingan misionari. Dipicu oleh semangat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga orientasi dan metodologi studi agama mengalami perubahan.
Studi-studi agama tidak lagi bersifat bersifat primordial atau bersifat hanya untuk kepentingan penyebaran agamanya, tetapi lebih didorong oleh semangat metodologis atau ilmiah, yakni berangkat atas dasar kepentingan dan perkembangan ilmu pegetahuan. Maka muncullah berbagai kajian agama dengan metode dan pendekatan yang beragam pula, sesuai dengan kecenderungan dan keahlian akademik para masing-masing sarjana (penstudi) itu sendiri.
Beberapa kecenderungan pengkajian agama dapat dilihat setidaknya atas tiga alasan, yaitu; pertama, kemajuan pesat ilmu pengetahuan, teknologi, dan pemikiran-pemikiran ilmiah mempengaruhi dinamika beragam sehingga minat intelektual untuk mengkaji agama secara lebih mendalam sangat tinggi. Kedua, kecenderungan untuk merekonstruksi agama dalam upaya mengembangkan semua urusan dunia. Ketiga, pengaruh-pengaruh sosial, politik, dan peristiwa-peristiwa internasional yang mempengaruhi agama-agama.
Dari berbagai macam pendekatan studi Islam di atas timbul suatu metode studi Islam yang secara lebih rinci dan dapat dijabarkan sebagai berikut:
  1. Metode Diakronis
Suatu metode mempelajari Islam menonjolkon aspek sejarah, metode ini memberikan kemungkinan adanya studi komparasi tentang berbagai penemuan dan pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, sehingga umat Islam memiliki pengetahuan yang relevan hubungan sebab akibat dan kesatuan integral. Lebih lanjut umat Islam mampu menelaah kejadian sejarah dan mengetahui lahirnya tiap komponen, bagian subsistem dan supra sistem ajaran Islam. Wilayah metode ini lebih terarah pada aspek kognitif.
Metode diakronis disebut juga metode sosiohistoris yakni suatu metode pemahaman terhadap suatu pemahaman terhadap suatu kepercayaan sejarah atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan yang mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan sejarah atau kejadian itu muncul. Metode ini menghendaki adanya pengetahuan, pemahaman dan penguraian ajaran-ajaran Islam dari sumber dasarnya yakni al-Qur’an dan as-Sunnah serta latar belakang masyarakat, sejarah, budaya di samping sirah nabi SAW dengan segala alam pikirannya.
2.      Metode Sinkronis-Analitis
Suatu metode mempelajari Islam yang memberikan kemampuan analisis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek umat Islam. Metode ini tidak semata-mata mengutamakan segi aplikatif praktis, tetapi juga mengutamakan telaah teoritis. Metode diakronis dan metode sinkronis analitis menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
  1. Islam adalah agama wahyu Illahi yang berlainan dengan kebudayaan sebagai hasil daya cipta dan rasa manusia.
  2. Islam adalah agama yang sempurna dan di atas segala-galanya (QS. Al-Maidah: 3)
  3. Islam merupakan supra sistem yang mempunyai beberapa sistem dan subsistem serta komponen dengan bagian-bagiannya dan secara keseluruhan merupakan suatu struktur yang unik.
  4. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak pada yang ma’ruf dan nahi munkar (QS. Ali Imron: 104)
  5. Wajib bagi umat Islam untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengn jalan yang hikmah dan penuh kebijaksanaan (QS. An-nahl: 125)
3.      Metode Problem Solving (hill al musykilat)
Metode mempelajari Islam untuk mengajak pemeluknya untuk berlatih menghadapi berbagai masalah dari suatu cabang ilmu pengetahuan dengan solusinya.
4.      Metode Empiris (Tajribiyyah)
Suatu metode mempelajari Islam yang memungkinkan umat Islam mempelajari ajarannya melalui prosed realisasi, aktualisasi, dan internalisasi norma-norma dan kaidah Islam dengan suatu proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial, kemudian secara deskriptif proses interaktif dapat dirumuskan dan suatu sistem norma baru.
Metode problem solving dan metode empiris menggunakan asumsi dasar sebagai berikut:
  1. Norma (ketentuan) kebajikan dan kemungkaran selalu ada dan diterangkan dalam Islam (QS. Ali Imron: 104)
  2. Ajaran Islam merupakan jalan untuk menuju ridho Allah (QS. Al-fath: 29)
  3. Ajaran Islam merupakan risalah atau pedoman hidup di dunia dan akhirat (Asy-Syura: 13).
  4. Ajaran Islam sebagai ilmu pengetahuan (QS. Al-baqoroh: 120, at-Taubah: 122)
  5. Pemahaman ajaran Islam bersifat empiris-intuitif (QS. Fushilat: 53)
5.      Metode Deduktif
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah secara logis dan filosofis dan selanjutnya kaidah-kaidah itu diaplikasikan untuk menentukan masalah yang dihadapi.
6.      Metode Induktif (al-Marhal al-Istiqariyyah)
Suatu metode memahami Islam dengan cara menyusun kaidah-kaidah hukum untuk diterapkan kepada masalah-masalah furu’ yang disesuaikan dengan mazhabnya terlebih dahulu. Prosedur pelaksanaan metode induktif dapat dilakukan dengan empat tahap yaitu:
  1. Adanya penjelasan dan penguaraian serta menampilkan topik yang umum.
  2. Menampilkan pokok-pokok pikiran dengan cara menghubungkan hubungan masalah tertentu, sehingga dapat mengikat bahasan untuk menghindari masuknya bahasan yang tidak relevan.
  3. Identifikasi masalah dengan mensistematisasi unsur-unsurnya dan
  4. Implikasi formulasi yang baru tersebut.

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM (Bag. 4)

TUDI ISLAM PENDEKATAN FILOSOFIS
Yang dimaksud adalah melihat suatu permasalahan dari sudut tinjauan filsafat dan berusaha untuk menjawab dan memecahkan permasalahan itu dengan menggunakan analisis spekulatif. Pada dasarnya filsafat adalah berfikir untuk memecahkan masalah atau pertanyaan dan menjawab suatu persoalan. Namun demikian tidak semua berfikir untuk memecahkan dan menjawab permasalah dapat disebut filsafat. Filsafat adalah berfikir secara sistematis radikal dan universal. Di samping itu, filsafat mempunyai bidang (objek yang difikirkan) sendiri yaitu bidang permasalahan yang bersifat filosofis yakni bidang yang terletak diantara dunia ketuhanan yang gaib dengan dunia ilmu pengetahuan yang nyata. Dengan demikian filsafat yang menjembatani kesenjangan antara masalah-masalah yang bersifat keagamaan semata-mata (teologis) dengan masalah yang bersifat ilmiah (ilmu pengetahuan). Namun filsafat tidak mau menerima segala bentuk bentuk otoritas, baik dari agama maupun ilmu pengetahuan. Filsafat selalu memikirkan kembali atau mempertanyakan segala sesuatu yang datang secara otoritatif, sehingga mendatangkan pemahaman yang sebenar-benarnya yang selanjutnya bisa mendatangkan kebijaksanaan (wisdom) dan menghilangkan kesenjangan antara ajaran-ajaran agama Islam dengan ilmu pengetahuan modern sebagaimana yang sering dipahami dan menggejala di kalangan umat selama ini.

STUDI  ISLAM  PENDEKATAN  SOSIOLOGI
Sosiologi adalah Ilmu yang mempelajari manusia dan interaksi manusia dengan manusia lain,  interaksi seseorang induvidu dengan individu  yang  lain, atau individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat, organisasi dengan organisasi.
Perkembangan yang sangat penting pada abad ini adalah lahirnya ilmu sosial yang mewarnai dan meramaikan kehidupan akademik dan intelektual. Ilmuwan sosial telah tertarik terhadap Timur Tengah, terutama melakukan pengkajian tentang Islam. Di Amerika Utara, banyak karya hasil tulisan ilmuwan sosial terutama yang mengkaji aspek tradisi Islam secara kuantitatif. Kajian tersebut bukan dihasilkan oleh ilmuan berbasis humanitis atau penulis yang mempunyai latar belakang pendidikan studi agama. Karya ilmuwan sosial tersebut dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa yang mengambil area studi Timur Tengah karena metode yang digunakan ilmuwan sosial dapat dijadikan alat analisis untuk memperluas pemahaman kita.
Untuk menemukan ciri-ciri dari “pendekatan ilmu-ilmu sosial” untuk studi Islam sangatlah sulit. Hal ini disebabkan karena beragamnya pendapat di kalangan ilmuwan sosial sendiri tentang validitas kajian yang mereka lakukan. Salah satu ciri utama pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah pemberian definisi yang tepat tentang wilayah telaah mereka. Adams berpendapat bahwa studi sejarah bukanlah ilmu sosial, sebagaimana sosiologi. Perbedaan mendasar terletak bahwa sosiolog membatasi secara pasti bagian dari aktivitas manusia yang dijadikan fokus studi dan kemudian mencari metode khusus yang sesuai dengan objek tersebut, sedangkan sejarahwan memiliki tujuan lebih luas lagi dan menggunakan metode yang berlainan.
Asumsi dalam diri ilmuwan sosial, salah satunya adalah bahwa perilaku manusia mengikuti teori kemungkinan (possibility) dan objektivitas. Bila perilaku manusia itu dapat didefnisikan, diberlakukan sebagai entitas objektif, maka akan dapat diamati dengan menggunakan metode empiris dan juga dapat dikuantifikasikan. Dengan pendekatan seperti itu, ilmuwan sosial menggambarkan agama dalam kerangka objektif, sehingga agama dapat “dijelaskan” dan peran agama dalam kehidupan masyarakat dapat dimengerti. Penelitian dalam ilmu sosial bertujuan untuk menemukan aspek empiris dari keberagamaan. Kritikan dan kelemahan pendekatan ilmuwan sosial seperti ini, menurut Adams adalah hanya akan menghasilkan deksripsi yang reduksionis terhadap keberagamaan seseorang.
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, maka agama akan dijelaskan dengan beberapa teori, misalnya agama merupakan perluasan dari nilai-nilai sosial, agama adalah mekanisme integrasi sosial, agama itu berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol, dan masih banyak lagi teori lainnya. Sekali lagi, pendekatan ilmu-ilmu sosial menjelaskan aspek empiris orang beragama sebagai pengaruh dari norma sosial, dorongan instinktif untuk stabilitas sosial, dan sebagai bentuk ketidak berdayaan manusia dalam menghadapi ketekutan. Tampak jelas bahwa pendekatan ilmu-ilmu sosial memberikan penjelasan mengenai fenomena agama dalam kerangka seperti hukum sebab-akibat, supply and demand, atau stimulus and respons.
Namun, terdapat kelemahan lain dari pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah kecenderungan mengkaji manusia dengan cara membagi aktivitas manusia ke dalam bagian-bagian atau variabel yang deskrit. Akibatnya, seperti yang dapat dilihat, terdapat ilmuwan sosial yang mencurahkan perhatian studinya pada perilaku politik, interaksi sosial dan organisasi sosial, perilaku ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai akibat lebih lanjut dari kelemahan ini, muncul dan dikembangkan metode masing-masing bidang atau aspek, kemudian berdirilah fakultas dan jurusan ilmu-ilmu sosial di beberapa universitas. Fakta tersebut membuktikan bahwa telah terjadi fragmentasi pendekatan dan terkotaknya konsepsi tentang manusia.
Meskipun demikian, harus diakui tetap perlu adanya pendekatan interdisipliner dalam melakukan studi tentang budaya manusia. Konstribusi ilmuwan sosial—dengan menggunakan salah satu disiplin ilmu sosial—seperti ilmuwan politik, ilmuwan sosial, dan antropolog yang tertarik pada wilayah di Timur Tengah atau masyarakat Muslim. Mereka menulis sesuai dengan fokus keahlian mereka, mereka concern terhadap Islam yang dilihat mempengaruhi fokus yang dikajinya. Pertanyaan yang dimunculkan misalnya adalah efek Islam terhadap politik di salah satu negara atau hubungan orientasi agama dengan pembangunan ekonomi atau perubahan sosial. Dari perspektif yang seperti ini agama menemukan maknanya sebagai fungsi dari realitas aktivitas lainnya.
Karena bidang kaji ilmuwan sosial ditentukan oleh ketertarikan terhadap fokus tertentu, mereka akan memilih salah satu aspek dari Islam sesuai atau menurut tujuan mereka. Terhadap aspek Islam yang menurutnya penting, maka ilmu sosial akan membahas dan menjadikannya bernilai. Oleh sebab itu, karena ilmuwan dalam bidang politik dan sosiologi bukanlah ahli sejarah agama, maka karya mereka tentang agama mungkin sedikit memberikan kepuasan dan kurang komplit jika dibandingkan dengan karya tulis mahasiswa perbandingan agama dalam bidang politik atau kekuatan sosial.
STUDI ISLAM PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang studi yang lebih elegan dan luas. Sehingga nilai-nilai dan pesan keagamaan bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam.
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun, dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Obyek studi antropogis terhadap agama ini adalah model-model keagamaan misalnya mite, upacara, totem, dan lain-lain. Menurut Anthoni Jackson obyek ini ada 4 kelompok :
  1. Modus pemikiran primitif meliputi masalah kepercayaan, rasionalitas dan klasifikasi sistemnya, semacam soal totem.
  2. Bagaimana pemikiran dan perasaan dikomunikasikan, seperti melalui simbol dan mite.
  3. Teori dan praktik keagamaan yang biasanya topik sentralnya adalah ritus.
  4. Praktik ritual sampingan seperti soal magik, ekstase dan orakel.
Monograf atau penggambaran model keagamaan masyarakat sederhana yang menjadi obyek pendekatan antropologis, adapula yang menggunakan model lain atau aliran-aliran dalam antropologi agama, diantaranya :
1.    Aliran Fungsional
Tokoh aliran fungsional diantaranya adalah Brosnilaw Kacper Malinowski (1884-1942). Malinowski berkeyakinan bahwa manusia primitif mempunyai akal yang rasional, walaupun sepintas lalu mungkin segi-segi kebudayaan mereka kelihatannya tidak rasional. Baginya tujuan dari penelitiannya yakni meraba titik pandang pemikiran masyarakat sederhana dan hubungannya dengan kehidupan, serta menyatakan pandangan mereka tentang dunia.
2.   Aliran Historis
Tokoh aliran antropologi histori ini adalah E.E. Evans Pritchard (1902-1973). Ciri-ciri antropologi historisnya adalah :
  • Seperti halnya sejarah, berusaha mengerti, memahami ciri terpenting sesuatu kebudayaan, dan seterusnya menerjemahkannya ke dalam kata-kata atau istilah-istilah bahasa peneliti sendiri.
  • Seperti halnya pendekatan sejarah, berusaha menemukan struktur yang mendasari masyarakat dan kebudayaannya dengan analisis-analisisnya yang dapat dinamakan analisis structural.
  • Struktur masyarakat dan kebudayaan tadi kemudian dibandingkan dengan struktur masyarakat dan kebudayaan yang berbeda.
E.E.Evans Pritchard berpendapat bahwa masyarakat primitive sebenarnya juga berpikir rasional seperti halnya manusia modern. Dalam karyanya tentang suku Nuer, ia menganalisis arti konsep-konsep kunci yang terdapat dalam suku Nuer seperti Kowth yang berarti semacam hantu, berusaha menemukan motif-motif tradisi lisan mereka, serta berusaha memahami simbol-simbol dan ritus-ritus mereka. Disamping itu, ia berusaha menemukan wujud konkret agama itu. Ia ingin menemukan apa yang dinamakan agama itu, yang kenyataannya bersangkutan dengan segala yang berada di sekeliling manusia, baik secara pribadi maupun secara sosial.
3.    Aliran Struktural
Tokoh pendekatan antropologi structural adalah Claude Levi Strauss (1908-1975). Obyek favoritnya adalah keluarga masyarakat sederhana, bahasa dan mite. Bahasa dan mite. Bahasa dan mite menggambarkan kaitan antara alam dengan budaya. Dalam hubungan antara alam dan budaya itulah dapat ditemukan hukum-hukum pemikiran masyarakat yang diteliti. Baginya alam mempunyai arti lain dalam pengertian biasa. Alam diartikan segala sesuatu yang diwarisi manusia oleh manusia dari manusia sebelumnyasecara biologis, artinya tidak diusahakan dan tidak diajarkan serta dipelajari. Sedangkan budaya adalah segala sesuatu yang diwarisi secara tradisi sehingga akan berisikan semua adat istiadat, keterampilan serta pengetahuan manusia primitif.

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM (Bag. 3)

STUDI  TASAWUF
TASAWUF, menurut etimologi, AHLU SUFFAH = kelompok orang pada zaman rasulullah hidupnya banyak di serambi serambi mesjidm mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Alah. Ada lagi mengatakan Tasawuf berasal dari kata SHAFA, orang yang bersih dan suci, orang yang menyucikan dirinya Di hadapan Allah. Ada yang mengartikan berasal dari bahasa Yunani SAUFI yang berarti kebijaksanaan. SHUF yang berarti bulu domba (wol).
Tasawuf  berdasarkan istilah,  (1)  Menurut  Al-Jurairi,  Memasuki  segala  budi (Akhlak) yang bersifat suni dan keluar dari budi pekerti yang rendah. (2) Menurut Al- Junaidi,  ia  memberikan rumus bahwa tasawuf adalah bahwa  yang  hak adalah  yang mematikanmu dan Hak-lah yang menghidupkanmu. Adalh beserta Allah tanpa adanya penghubung.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu.mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.
Dari Al-Junaid dapat disimpulkan tasawuf adalah memberikan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan mahluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (isntink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia. Menjauhkan segala seruahan dari hawa nafsu. Mendekatkan sifat suci kerohanian dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memaki barang-barang yang penting dan terlebih kekal. Menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat.
Fase perkembangan tasawuf :
  1. Fase Askestisme (zuhud). Berkembang pada abad kedua Hijriah, sikap semacam ini dipandang pengantar kemunculan tasawuf diman setiap individu dari kalangan muslim memusatkan dirinya pada ibadah dan pendekatan diri pada Allah SWT, mereka tidak mementingkan kenikmatan duniawi dan kemudian berpusat pada kenikmatan akherat, Tokoh yang populer pada fase ini adalah hasan Al Basri (110 H) dan Rabiah Al Adawiyah (185 H) keduanya dalam sejarah disebuth seorang zahid
  2. Fase Akhlaki. Pada fase ini tasawuf berkembang pada abad ketiga Hijriah, dimana para sufi mulai ekspansi pada wilayah prilaku dan moral manusia. Pada saat manusia ketika itu berada ditengah-tengah terjadinya dekadensi moral yang cukup akut, sehingga dari sini tasawuf mulai berkembang dengan pesat sebagai ilmu moral keagamaan dan mendapat respon yang baik dari masyarakat islam, dari sini kemudian nampaklah bahwa ajaran tasawuf semakin sederhana dan mudah dipraktekkan dengan standar akhlak.
  3. Fase Al-Hallaj. 1 abad kemudian, muncul tasawuf jenis lain yang lebih ekslusif dan fenomental yang  diwakili oleh al-Hallaj,  beliau  mengajarkan tentang  kebersatuan manusia dengan Tuhan Konsep yang dibawanya adalah wahdatul wujud (bersatu dengan wujud yang satu). Dari konsep ini kemudian Al-Hallaj diputuskan bersalah dan harus dihukum mati, untuk sebuah konsistensi paham tasawufnya, Dimana masyarakat islam masih sangat indentik dengan jenis tasawif aklaki, kemudian al- Hallaj dianggap membahayakan stabilitas umat.
  4. Fase Tasawuf Moderat. Kemunculan tasawuf pada fase ini, muncul sekitar abad kelima hijriyah dengan seorang  tokohnya  yaitu  Imam  Ghazali,  yang  sepenuhnya  hanya  menerima tasawuf yang  berdasarkan al-Quran dan Al-Hadist, serta menekankan kembali askestisme. Al-Ghazali telah berhasil menempatkan prinsip-prinsip tawawuf yang moderat, akibat pengaruh kepribadian iman al-Ghazali yang begitu besar, maka pengaruh  tasawuf  dengan  dasar  moderat  ini  telah  meluas  hampir  keseluruh pelosok dunia islam, lalu  mulailah bermunculan para tokoh sufi yang kemudian mengembangkan  tarekat  tertentu  untuk  murid-murid  mereka,  seperti  Sayyid Ahmad Ar-Rijai dan Sayyed Abdul Qadir Jaelani.
  5. Fase Tasawuf Falsafi. Pada fase ini tasawuf mulai dipadukan dengan filsafat yang muncul pada abad ke 6 Hijriah, tokoh yang muncul Syuhrowardi al Maqtul (549 H), Syek Akbar Mulyadin Ibn Araby (638 H) dan Ibn faridh (632 H) mereka memcoba menggabungkan pola pikir tasawuf yang akhlaki dan askestisme dengan filsafat yunani khususnya neo-Platonisme. Teori –teori yang mendalam khususnya mengenai jiwa, moral, ilmu tentang wijud menjadi hal yang urgensi dalam prinsip berfikir mereka.
Pemikiran Tasawuf Akhlaki
Tasawuf disini dimaksudkan untuk merubah dan memperbaiki akhlak yang mulia. Dalam pemikiran  ini tidak  hanya  bersifat  lahiriyah tapi juga  batiniyah,  dengan latihan (riyadoh) tujuannya adalah menguasai hawa nafsu. Untuk  itulah tasawuf akhlaki  menerapkan  terapi  pembinaan  mental  dan  akhlak  yang  disusun  sebagai berikut :
  1. Terapi takhalli adalah  mengosongkan  diri dari prilaku  dan akhlak  tercela, adalah langkah awal yang harus dijalani seorang sufi, untuk memasuki dunis tasawuf yang suci. Kerena akhlak tercela adalah perangkap kenikmatan duniawi.  Sebagai  penghalang  perjalanan  seorang  hamba  pada  Tuhannya, untuk mencapai spiritual yang hakiki, Akhlak tercela lainnya yang paling berbahaya adalah Riya(suka pamer). Imam Al-Ghazali menganggap penyembuhan diri yang masuk dalam politeisme.
  2. Terapi Tahalli, dilakukan agar seseorang dihiasi oleh sikap, prilaku dan Akhlakul karimah, Tahp ini dilakukan setelah tahap pertama selesai, lalu mereka akan selalu berusaha   berjalan   diatas   ketentuan   agama,   tahap   ini   adalah   isi   dari pembersiha diri dan pengosongan jiwa. Beberaoa hal yang harus diisi dalam menghiasi beberapa prilaku tadi adalah :
1)        Taubat: penyesalan sungguh-sungguh dalam hati yang disertai dengan permohonan.
2)        ampun serta berusaha meninggalkan segala perbuatan yang dapat menimbukan dosa itu kembali
3)        Cemas  dan  Harap  adalah  sikap  mental tasawuf  yang  selalu  bersandar kepada salah seorang tokoh yaitu hasan Al-Basri yaitu suatu perasaan yang timbul karena banyak yang berbuat dosa dan lalai kepada Allah.
4)        Zuhud yaitu sikap mental sufi yang melepaskan diri dari ras ketergantungan terhadap kenikmatan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akherat yang abadi.
5)        Al-faqr, sikap bermakna, dimana seorang sufi tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki, sehingga tidak menuntut sesuatu yang lain. Sikap ini merupakan benteng terhadap pengaruh kenikmatan duniawi dan menghindari keserakahan, Pada prinsipnya sikap ini adalah rentetan dari sikap zuhud, hanya saja zuhud lebih eksrim sedangkan faqr adalah sekedar.
6)        Pendisiplinan, sikap inipun pada gilirannya akan menimbulkan sikap wara dalam diri sufi.
7)        Al-Shabr adalah hal yang paling  mendasar dalam tasawuf kaena sabar mengandung makna keadaan jiwa yang kokoh stabil, konsekwensi dalam pendirian, walaupun godaan dan tantangan begitu kuat, sikap ini dilandasi satu anggapan bahwa segala sesuatu terjadi merupaka kehendak Allah dan kita  harus  menerimanya  dengan  sabar,  tapi  iktiar  juga  tetap  harus dijalankan.
8)        Ridha,  sikap  ini  merupakan  kelanjtan  dari rasa  cinta  yang  merupakan perpaduan Mahabbah dan sabar, Ridho dalam hal ini mengandung makna lapang dada, berjiwa besar, hati terbuka terhadap apa yang bersadar dari Allah baik menerima ketentuan agama dan masalah nasib itu sendiri.
9)        Muraqqabah,  sikap  ini  adalah  berarti  mawas  diri  atau  lebih  tepat  nya dengan  self  correction,  sikap dimana kita siap  siaga setiap  saat  untuk meneliti keadaan diri sendiri. Sikap ini berawal dari sebuah landasan pemikiran bahwa Allah senantiasa mengawasi dan mengamati setipa gerak dan langkah kita selama hidup di dunia.
3.     Terapi Tajalli merupakan pemantapan dari tahap tahlli yang bermakna nur ghaib, yaitu dengan menghayati rasa keber Tuhanan lebih mendalam yang kemudian menimbulkan rasa rindu yang amat sangat kepada sang Tuhan, karena kaum sufi berpendapat untuk mencapai kesempurnaan kesucian jiwa, hanya dapat ditempuh dengan satu jalan yaitu cinta kepada Allah secara mendalam, maka jalan menuju tuhan akan terbuka dengan lebar.

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM (Bag. 2)

STUDI  AL-HADIS
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul. Berbeda dengan al-Thibby dan lainnya yang berpendapat bahwa hadis tidak hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-ucapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian hadis/sunnah menurut pandangan ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.
Diantara naskah-naskah hadis sebelum Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis, antara lain:
  • Al-Shahifah al-Shahihah (Shahifah Humam),
  • Al-Shahifah al-Shadiqah,
  • Shahifah Sumarah bin Jundub,
  • Shahifah Jabir bin ‘Abdullah,
  • Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Dapat disebutkan beberapa faktor hadis di masa  Nabi saw. belum dibukukan, yaitu:
  • Larangan Nabi saw. untuk tidak menulis al-Qur’an, selain untuk catatan pribadi, sehingga al-Qur’an dapat terjaga kemurniannya.
  • Nabi saw. selalu hadir di tengah-tengah umat Islam sehingga tidak memerlukan ditulisnya hadis.
  • Kemampuan baca-tulis masyarakat ketika itu sangat terbatas, sekalipun ada maka difokuskan pada penulisan al-Qur’an.
  • Saat itu umat Islam sedang berkonsentrasi kepada al-Qur’an.
  • Kesibukan umat Islam yang luar biasa menghadapi perjuangan da’wah Islamiyah.
Menurut penelitian para ahli hadis, pada garis besarnya kitab-kitab hadis itu dapat diklasifikasikan kepada:
  • Kitab Hadis Shahih, yaitu kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih saja menurut masing-masing penulisnya. Seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan  seterusnya.
  • Kitab Sunan, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis termasuk hadis dha’if (lemah/palsu) yang dijelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Seperti, Sunan al-Tirmizi, al-Darimi, al-Baihaqi, dan seterusnya.
  • Kitab Musnad, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis tanpa menyaringnya. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Abi ‘Awanah, al-Syafi’i, dan seterusnya.
Diantara kitab-kitab hadis tersebut, yang dinilai terbaik adalah 6 kitab hadis yang secara berurutan: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab ini disebut Kutub al-Sittah. Sementara ulama lain menambahkan 3 kitab hadis lainnya, yaitu Musnad Ahmad, al-Muwaththa’ dan Sunan al-Darimi sehingga menjadi 9 kitab yang kemudian disebut Kutub al-Tis’ah.
Suatu hadis terdiri dari 3 unsur. Pertama, matn (materi hadis). Suatu matn hadis yang baik ialah apabila hadis itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau matn hadis lain yang lebih kuat sanad-nya, tidak pula bertentangan dengan rasio, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan ilmu ‘Ilal al-Hadis, Nasikh wa al-Mansukh, Ma’ani al-Hadis, Gharib al-Hadis, Syaz al-Hadis, Talfiq / Mukhtalif al-Hadis, Asbab al-Wurud al-Hadis, dan Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis.
Kedua, sanad (rangkaian rawi). Sanad yang baik ialah sanad yang bersambung (muttashil) rawi (periwayat)-nya, baik dalam kedudukannya sebagai penerima maupun penyampai hadis, mereka pernah bertemu, bahkan rawi penerima pernah berguru kepada rawi penyampainya. Jika diantara mereka ada yang tidak memenuhi persyaratan tersebut maka hadis yang diriwayatkannya adalah mursal (terputus) yang berarti mardud (tertolak). Penelitian sanad dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu Thabaqat al-Ruwah, Fann al-Mubhamat, dan Tahammul wa al-Ada’.
Ketiga, rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Rawi yang dapat diterima periwayatannya haruslah tsiqqah (terpercaya), yakni memenuhi syarat ‘adil (benar, tidak pernah dusta, jujur, dan tidak biasa berbuat dosa (kualitas kepribadian)), dan dhabith atau hafizh (kuat hafalan, tidak pelupa, punya catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan (kualitas intelektual). Untuk mengetahui kualitas rawi, dibutuhkan ilmu Rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, dan Tarikh al-Ruwah.
Gejolak Pemikiran Tentang Hadis
Ulama yang cukup tersohor dalam bidang penelitian dan kritik hadis pada masa kodifikasi hadis, diantaranya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari. Keduanya ini dikenal cukup ulet dan teliti dalam mencari, mengumpulkan, menyaring, mengkritisi, dan membukukan hadis-hadis Nabi.
Al-Syafi’i berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan serta fungsi hadis nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai Nashir al-Sunnah (Pembela Sunnah). Bahkan ia dipandang sebagai ahli hukum Islam yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadis.
Dari sisi lain, al-Syafi’i juga dipandang sebagai perintis dalam perumusan kaidah-kaidah ilmu hadis. Seperti di dalam kitabnya al-Risalah yang banyak terdapat rumusan-rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis, terutama persyaratan rawi dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘ilat, syaz, dan ikhtilaf hadis.
Ulama lainnya adalah Imam al-Bukhari yang salah satu karyanya, Shahih al-Bukhari, menjadi salah satu kitab hadis yang utama. Meskipun banyak dikritik oleh para ulama, namun al-Bukhari dapat dikatakan sebagai pencetus ilmu-ilmu hadis, baik dalam prakteknya ketika ia mengumpulkan hadis maupun dalam teori yang banyak ia tulis dalam kitab-kitabnya yang lain. Dalam menjaring hadis yang shahih, setidaknya al-Bukhari menggunakan 5 kriteria, yaitu: (a) rawi yang berkualitas kepribadiannya (‘adalah); (b) rawi yang tinggi kapasitas intelektualnya (dhabth); (c) sanad yang bersambung (ittishal al-isnad); (d) tidak ada cacat pada sanad dan matn-nya; dan (e) matn hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis mutawatir.
Pada masa modern, cukup banyak ulama masa kini yang melakukan kajian terhadap hadis. Sebut saja misalnya, Musthofa al-Siba’i, Muhammad al-Ghazali, Zainuddin al-‘Iraqi, Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthallib, Mahmud Abu Rayyah, Mahmud al-Thahhan, ‘Ajaj al-Khatib, Nuruddin ‘Atar, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, walau masih tergolong sedikit, tetapi cukup berperan dalam kajian hadis dan ilmu hadis. Seperti Ali Musthofa Yakub, Quraish Shihab, M. Luthfi Abdullah, dan lainnya.
Dari sisi outsider, Mereka mengkritisi dan mengingkari hadis dari berbagai segi, diantaranya pengingkaran terhadap penulisan dan penghafalan hadis, tidak dapat dibedakan antara hadis shahih dan palsu akibat kodifikasi yang terlambat, pengingkaran sistem isnad dan rawi, pengingkaran adanya konsensus tentang ke-shahih-an hadis, dan seterusnya.
Upaya mereka tersebut, meskipun hanya dalam bentuk wacana, tetapi sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan asumsi masyarakat muslim, khususnya mereka yang awwam menjadi mudah teracuni. Maka untuk menjawab tantangan tersebut, para ulama dan pemikir Islam bangkit untuk menangkis pemikiran-pemikiran kaum outsider yang mengingkan kehancuran Islam. Terjadilah perang intelektual antara kaum orientalis dan kaum ulama Islam di berbagai penjuru dunia. Namun, usaha memerangi pemikiran orientalis tidaklah cukup bila tidak diiringi dengan usaha penanaman kembali nilai-nilai Islam pada masyarakat muslim itu sendiri.
STUDI  ILMU KALAM (TEOLOGI)
Adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (ushuluddin), Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan  berupaya  membuktikan  keabsahannya  dan  menjawab  keraguan terhadap akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist, pemikiran manusia. Obyek Pembahasan Ilmu Kalam :
  1. Masalah pengetahuan (al-Ma’rifah) cara memperolehnya, tujuan mengukuhkan keyakinan mengenai pengetahuan informatif    (al-ma’rifah al-khariyyah), khususnya  yang  dibawa oleh Rasul,  tujuannya untuk  meng-counter pandangan Thummamiyyah dan safsata’iyyah (sofisme) yang menolak pengetahuan informatif.
  2. Masalah kebaruan alam (huduts al’alam) yang bertujuan membuktikan kewujudan zat yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap filosofi .
  3. Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksistensi tuhan cahaya  (al-nur) dan tuhan kegelapan (al-zulmah).
  4. Masalah  sifat  Allah dan  hubungannya  dengan  zat-Nya,  apakah zat-Nya  sama dengan sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar (substansi) dan ‘arad (aksiden)  serta  aqnumiyah (oknum  dalam  teologi  kristen)  yang digunakan untuk menjustifikasi konsep teologis mereka, dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak, anak, ruh kudus.
  5. Masalah  tanzih (pensucian)  Allah  dan  penolakan  tasybih (penyeruan  Allah), tujuan untuk  membantah pandangan orang  yahudi yang  menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri manusia.
  6. Masalah  kalam  Allah,   baik  qadim  maupun  baru,   ini  terpengaruh  dengan pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai kalimatullah. menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan pandangan Islam, beliau adalah Kalimatullah.
  7. Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada kenabian Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabi’ah dan Brahmana (Hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orang-orang yahudi dan Nasrani yang menolak kenabian Muhammad.
  8. Masalah ke-ma’shum-an para Nabi yang bertujuan membantah pandangan Yahudi bahwa Nabi mempunyai kelemahan, dosa, dan tidak Ma’shum.
  9. Masalah tempat  kembali (al-mi’ad)  yang  membantah pandangan reincarnation (penjelmaan kembali) Agama Budha dan lainnya.
  10. Masalah al-jabr  wa al-iktiyar (keterbatasan dan kebebasan berkehendak)  yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat Yunani.
Sejarah Kemunculan Permasalahan Ilmu Kalam
1.   Aliran Khawarij
Kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik atas terbunuhnya Ustman bin Affan yang berbuntuk penolakan Mua’wiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Shifin yang berakhir dengan keputusan Tahkim, dimana Ali menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan Mu’awiyah. Mereka berpendapat persoalan yang terjadi tidak  dapat  diputuskan  dengan  tahkim,  semboyan  mereka  hukum  harus  kembali kepada Al-Quran. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah dan mereka meninggalkan barisannya, sehingga mereka disebut khawarij.
Menegaskan  bahwa orang  yang  berdosa besar  adalah  kafir.  Dalam arti telah keluar dari Islam atau telah murtad dan wajib dibunuh. Mereka umumnya berasal dari suku Badawi, kehidupannya di padang pasir yang tandus, sehingga mereka hidup bersifat sederhana  baik dalam cara hidup dan pemikiran, keras hati, radikal, bengis dan suka kekerasan, fanatik berfikiran sempit, tidak dapat mentolerir hal-hal yang dianggap menyimpang dalam pandangan keislamannya. Sehingga merekapun dengan mudah terpecah belah menjadi golongan kecil-kecil. Sehingga dapat dimengerti mengapa mereka terus mengadakan perlawanan dengan penguasa jamannya. Golongan Khawarij ada 8 yang terbesar yaitu : Al-Muhakkimah, Al- Azariqah, Al-Nadjat, Al-Baihasiyyahn, Al-ajaridah, Al-Sa’alibah, dan Al-Shufriyah.
2.  Aliran Murji’ah
Nama murjiah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, pengharapan.memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat  Allah (arja’a) atau orang  yang  menunda penjelasan kedudukan seseorang  yang  bersengketa yaitu  Ali dan Muawiyah serta pasukannya.
Murjiah  menangguhkan penilaian terhadap orang  yang  terlibat  dalam peristiwa tahkim dihadapan Allah. Karena Allah lah yang mengetahui iman seseorang. Demikian pula orang-orang  mukmin yang  melakukan dosa besar dianggap tetap mukmin/bukan kafir selama ia tetap mengucapkan 2 kalimat syahadat.
Terdapat nama-nama seperti Al-Hasan Ibnu Muhammad bin Ali bin bi Thalib. Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist. Menurut Abu Hanifah, Iman adalah pengetahuan dan pengetahuan adanya Tuhan, Rasul-rasulnya dan tetang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian: Iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan diantara manusia dalam hal iman.
3.  Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara (kemampuan dan kekuatan), aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri, penekanan pada kebebasan manusia dalam mewejudkan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan kehendaknya, menentukan keputusan . dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri.
4.  Aliran Mu’tazilah
Ajaran Mutazilah yang mengalami jaman kejayaan pada saat peradaban Islam the golden age (abad 7 abad sampai abad 13). Ketika itu muncul banyak ilmuwan seperti Ibnu Sina (bapak kedokteran), Ibnu Khawarijmi (bapak matematika). Aliran Mu’tazilah mengakar dari paham qadariyah. Secara harfiah, mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah. dibina oleh Wasil bin Ata. (lahir 81-131  H), belajar pada Hasan al-Basri salah satunya.
Ada 5  pokok  ajaran Mu’tazilah  yang  menjawab masalah akal dan wahyu dalam menjawab persoalan teologis yaitu: (1) Al-Tauhid, yaitu Kemahaesaan Tuhan, Tuhan Maha Esa, zat yang Unik dan tiada yang serupa dengan dia. (2) Al-adl, yaitu Keadilan Tuhan, Dari sini timbullah paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, manusia harus bertanggung jawab kepada perbuatannya,  paham  al-shalih  wa-ashlah,  wajib  bagi  Tuhan  berbuat  baik  kepada manusia, mengirin nabi-nabi untuk menyampaikan segala yang diketahui akal, wajib untuk tidak memberi beban diluar batas kemampuan, terikatnya tuhan kepada janji-janji-Nya dan sebagainya,  (3) Al-Wa’d wa al-wa’id,  memiliki arti Tuhan wajib memberi pahala bagi orang yang berbuat baik dan wajib menghukum orang yang berbuat mungkar di akherat. (4) Al-Manzilah bayna al-manzilatain, yaitu pemposisian di tengah bagi pembuat dosa besar, mereka tidak kafir tetapi juga tidak mukmin, tidak surga dan tidak juga neraka, tapi posisi siksa ringan yang terletak diantaranya, (5) Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an Al-munkar, yaitu suatu perintah berbuat baik dan larangan berbuat  jahat  yang  berhubungan dengan usaha  membina  moral dan suatu kontrol sosial.
5.  Aliran Jabariyah
Jabara mengandung arti memaksa, menurut Al-Syahrastani, jabariah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba seorang hakikat dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat arab. Di hadapan alam yang tandus, ganas, berpasir, indah namun kejam, menyebabkan jiwa mereka dekat kepada Zat yang Maha. Dengan semata-mata tunduk, patuh pasrah. Al-Shaffat ayat 96, ditegaskan: Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
6.  Aliran Asy’ariyah
Nama  lengkapnya Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-asyari 260 H/873M –  324 H/935M),  keturunan  Abu  Musa  Al-Asyari.,  salah  satu  perantara  dalam  sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal yaitu Al-Jubba’i , yang diikutinya sampai ia berumur 40 tahun, setelah bersembunyi selama 15 hari, kemudian ia pergi ke Mesjid Basrah dan di depan orang banyak, mula-mula dia mengatakan bahwa: Quran itu mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat mata kepala. Dia tidak lagi sepaham dengan mu’tazilah yang melibatkan akal di atas  segalanya. Ia mengkawatirkan  quran  dan Hadist  yang  menjadi korban paham-paham mu’tazilah yang menurutnya pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pekerjaan akal dan pikiran. Abu  Hasan  al-Asy’ari  tampil  dengan  konsep  kasb (perolehan,  acquisition)  yang cukup rumit. Yakni, manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya seperti kata kaum Jabari, tapi karena usahanya toh tidak berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan jika Allah memberi kita pahala (masuk surga), maka itu hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal perbuatan kita), dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu hanyalah karena keadilan-Nya (juga bukan karena semata perbuatan kita).
7.  Aliran Maturidiyah
Abu Mansur ibnu Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkhan pada pertengahan ke-dua dari abad ke 9, wafat tahun 944 M, ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham- paham teologi nya banyak persamaan dengan Abu Hanifah. Pendapatnya    tentang  perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai faham Qadariyah dan bukan jabariah, Mengenai orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa-dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akherat,  iapun menolak paham posisi  menengah kaum Mu’tazilah.

Selasa, 05 Februari 2013

Konsep Pendidikan Islam K.H. A. Wahid Hasyim




BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Dalam khasanah pemikiran pendidikan Islam , kita temukan tokoh-tokoh besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia.
Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut di catat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah di lahirkan oleh mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah mereka.
Adapun tantangan yang di hadapi pendidikan Islam di masa awal masuknya Islam ke Indonesia barangkali adalah kurangnya pemahaman pemeluk Islam baru akan pengetahuan agama Islam. Tersebarnya agama Islam ke Nusantara menimbulkan kebutuhan akan guru-guru, juru dakwah untuk menganjurkan prinsip-prinsip agama baru tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam itu muncullah pusat-pusat pembelajaran agama Islam, dalam bentuk pengajaran individual maupun secara kelompok ( padepokan atau pesantren ).
Pendidikan Islam dalam bentuk padepokan ( pesantren ) ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya timbul tantangan baru yaitu berdirinya sekolah Belanda. Sekolah Belanda ini dikembangkan oleh pemerintah kolonial untuk menghasilkan tenaga kantor tingkat rendah, dengan gaji jauh lebih murah. Akhirnya muncul pendidikan model tradisional yaitu pesantren, sekolah Belanda dan juga madrasah sebagai respon pembaharuan pendidikan dengan model sekuler Belanda. Modernisasi pendidikan ini terus berlanjut hingga akhirnya ada sekelompok muslim yang mendirikan sekolah Islam, suatu bentuk pendidikan Islam yang sepenuhnya mengadopsi bentuk dan kurikulum sekolah colonial Belanda. Munculnya model ini bukan berarti bentuk pendidikan Islam yang lama menjadi hilang. Yang lama masih tetap ada dan berdampingan dengan bentuk pendidikan Islam yang baru. Sehingga di kalangan masyarakat muslim ada tiga bentuk lembaga pendidikan Islam yaitu pesantren, madrasah ( kurikulum lebih berat ke pendidikan agama dengan bangku dan papan tulis ) dan sekolah Islam yang ketiganya bertahan sampai sekarang.
BAB II. PEMBAHASAN

A. Biografi K.H. A. Wahid Hasyim

1. Keluarga dan pendidikan
Wahid Hasyim yang akrab di sapa dengan Gus Wahid lahir pada hari jumat legi, tanggal 5 Rabiul Awal 1333 H bertepatan dengan 1 juni 1914 di Desa Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Oleh ayahnya Hadratus Syeh K.H. Hasyim Asy’ari beliau diberi nama Muhammad Asy’ari, terambil dari nama neneknya. Karena di anggap nama tersebut tidak cocok dan berat maka namanya di ganti Abdul Wahid, pengambilan dari nama seorang datuknya. Namun ibunya kerap kali memanggil dengan nama Mudin. Sedangkan para santri dan masyarakat sekitar sering memanggil dengan sebutan Gus Wahid, sebuah panggilan yang kerap ditujukan untuk menyebut putra seorang Kyai di Jawa.
Wahid Hasyim berasal dari keluarga yang taat beragama, keluarga pesantrern yang berpegang erat pada tradisi. Ia lahir, tumbuh dan dewasa dalam lingkungan pesantren. Ibunya bernama Nafiqah putri K.H. Ilyas pemimpin pesantren Sewulan di madiun. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada Lembu Peteng ( Brawijaya VI ), yaitu dari pihak ayah melalui Joko Tingkir ( Sultan Pajang 1569-1587 ) dan dari pihak ibu melalui Kiai Ageng Tarub I. Sejak usia 5 tahun ia belajar membaca Al Quran pada ayahnya setiap selesai sholat magrib dan dhuhur, sedang pada pagi hari ia belajar di Madrasah Slafiyah di dekat rumahnya. Dalam usia 7 tahun ia mulai mempelajari kitab Fath Al-Qarib ( kemenangan bagi yang dekat ) dan al-Minhaj al-Qawim ( jalan yang lurus ). Sejak kecil minat membacanya sangat tinggi, berbagai macam kitab di telaahnya. Ia sangat menggemari buku-buku kesusastraan Arab, khususnya buku Diwan asy-Syu’ara’ ( Kumpulan penyair dengan syair-syairnya ).[1]
Sejak kecil ia terkenal sebagai seorang anak yang pendiam, peramah dan pandai mengambil hati orang. Dikenal banyak orang sebagai orang yang gemar menolonh kawan, suka bergaul dengan tidak memandang bangsa, atau memilih agama, pangkat dan uang. Terlalu percaya pada kawan, suka berkorban, akan tetapi mudah tersinggung perasaannya dan mudah marah, akan tetapi dapat mengatasi kemarahannya. Ketika berusia 12 tahun Wahid Hasyim telah menamatkan studinya di Madrasah Salafiyah Tebuireng, lalu beliau belajar ke pondok Siwalan Panji, Sidoarjo, di pondok Kyai Hasyim bekas mertua ayahnya. Di sana ia belajar kitab-kitab Bidayah, Sullamut Taufik, Taqrib dan Tafsir Jalalain. Gurunya Kyai Hasyim sendiri dan Kyai Chozin Panji, namun ia hanya belajar dalam hitungan hari yaitu selama 25 hari tidak sebagaimana umumnya santri. Pengembaraan intelektual pesantrennya dilanjutkan di Pesantren Lirboyo, kediri, namun juga untuk beberapa . Setelah itu ia tidak meneruskan pengembaraannya ke pesantren lain, tetapi memilih tinggal di rumah dan belajar secara otodidak dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di dukung oleh tingkat kecerdasannya yang tinggi serta tingkat hafalannya yang kuat , dalam belajar ia tidak mengalami kesulitan. Mengenai hal ini Saifuddin Zuhri menuturkan :
“ Aku mendengar bahwa K.H. A. Wahid Hasyim dan Muhammad Ilyas ketika masih sama-sama jadi santri di Tebuireng dahulu, bukan hanya hafal seluruh bait-bait Alfiyah yang 1000 dengan arti maknanya, tetapi juga mahir menghafalnya dari belakang ke muka. Padahal dari muka ke belakang saja bukan main sulitnya.”[2]
Bukti lagi kecerdasan dan kecemerlangan pikiran K.H. A. Wahid Hasyim dikisahkan oleh Ahmad Syahri sebagai berikut :
“ Kyai Wahid mudah menghafal nama tamu-tamunya, apalagi para pemimpin NU di daerah-lazim disebut konsul-sebelum ada sebutan pengurus wilayah dan cabang. Kecerdasannya juga terlihat dari cara beliau belajar bahasa Asing. Serta menangkap alur bicara lawan diskusinya, sehingga bisa menanggapi dengan tajam .”[3]
2. Kepribadian Wahid Hasyim
Wahid Hasyim hidup dalam lingkungan pesantren yang tentu sangat relegius yang membentuk kepribadiannya dalam cara bergaul, beorganisasi, mendidik menjadi seorang pemimpin dan bahkan menjadi seorang negarawan. Kepribadian Wahid Hasyim adalah kepribadian lintas batas, artinya tidak sekedar di bentuk dari pergesekan,, dialektikanya dengan komunitas pesantren dan NU, tapi dengan berbagai komunitas seperti dengan organisasi pergerakan Islam, partai politik dan juga birokrasi pemerintahan ketika beliau menjabat sebagai Mentri Agama.

B. Pemikiran Pendidikan K.H. A. Wahid Hasyim

1. Prinsip-prinsip pendidikan.
Pemikiran pendidikan Islam Wahid Hasyim dapat di cermati pada beberapa karya beliau yang di muat di media yang setidaknya terdapat 7 judul, seperti Abdullah Oebayd sebagai pendidik. Dalam buku ini K.H.A. Wahid Hasyim membeberkan beberapa prinsip dalam pendidikan yaitu :
  1. Percaya kepada diri sendiri atau prinsip kemandirian.
  2. Kesabaran.
  3. Pendidikan adalah proses bukan serta merta.
  4. Keberanian.
  5. Prinsip tanggung jawab dalam menjalankan tugas.
2. Orientasi Pendidikan Islam.
Sebagai seorang santri pendidik agama, fokus utama pemikiran Wahid Hasyim adalah peningkatan kualitas sumberdaya umat Islam. Upaya peningkatan kualitas tersebut menurut Wahid Hasyim, dilakukan melalui pendidikan khususnya pesantren. Dari sini dapat dipahami, bahwa kualitas manusia muslim sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas jasmani, rohani dan akal. Kesehatan jasmani dibuktikan dengan tiadanya gangguan fisik ketika berkreatifitas. Sedangkan kesehatan rohani dibuktikan dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang kemudian diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Disamping sehat jasmani dan rohani, manusia muslim harus memiliki kualitas nalar (akal) yang senantiasa diasah sedemikian rupa sehingga mampu memberikan solusi yang tepat, adil dan sesuai dengan ajaran Islam.
Mendudukkan para santri dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi, dengan kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia muda. Ia tidak ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, dia berkiprah secara langsung membina pondok pesantren asuhannya ayahnya.
Pertama-tama ia mencoba menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji coba tersebut dinilai berhasil. Karena itu ia kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren. Untuk pendidikan pondok pesantren Wahid Hasyim memberikan sumbangsih pemikirannya untuk melakukan perubahan. Banyak perubahan di dunia pesantren yang harus dilakukan. Mulai dari tujuan hingga metode pengajarannya.
Dalam mengadakan perubahan terhadap sistem pendidikan pesantren, ia membuat perencanaan yang matang. Ia tidak ingin gerakan ini gagal di tengah jalan. Untuk itu, ia mengadakan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menggambarkan tujuan dengan sejelas-jelasnya
b. Menggambarkan cara mencapai tujuan itu Memberikan keyakinan dan cara, bahwa dengan sungguh-sungguh tujuan dapat dicapai.
Menurut beliau, tujuan pendidikan adalah untuk menggiatkan santri yang berahlakul karimah, takwa kepada Allah dan memiliki ketrampilan untuk hidup. Artinya dengan ilmu yang dimiliki ia mampu hidup layak di tengah masyarakat, mandiri, tidak jadi beban bagi orang lain. Santri yang tidak mempunyai ketrampilan hidup ia akan menghadapi berbagai problematika yang akan mempersempit perjalanan hidupnya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan Wahid Hasyim bersifat Teosentris ( Ketuhanan ) sekaligus Antroposentris ( kemanusiaan ). Artinya bahwa pendidikan itu harus memenuhi antara kebutuhan duniawi dan ukhrowi, moralitas dan ahlak, dengan titik tekan pada kemampuan kognisi ( iman ), afeksi ( ilmu ) dan psikomotor ( amal, ahlak yang mulia ).[4]
3. Materi Pendidikan Islam.
Materi yang di rancang oleh Wahid Hasyim dalam pendidikan terbagi menjadi tiga : Pertama, ilmu-ilmu agama Islam seperti fiqih, tafsir, hadist dan ilmu agama lainnya. Kedua, ilmu non agama seperti ilmu jiwa, matematika, dan Ketiga, kemampuan bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda dan Bahasa Indonesia.
4. Metode Pendidikan.
Adapun metode pendidikan yang dianut oleh K.H.A. Wahid Hasyim yaitu banyak mencontoh model pengajaran ayahnya Hasyim Asy’ari berupa penanaman kepercayaan diri yang tinggi terhadap muridnya. Ini sebagai bukti bahwa pola pemikiran Wahid Hasyim dengan ayahnya yaitu Hasyim Asy’ari banyak sekali persamaannya, atau dengan kata lain bahwa sistem dan tehnik yang diterapkan Wahid Hasyim merupakan kelanjutan dari sistem dan tehnik Hasyim Asy’ari. Adapun contohnya seperti :
a. Tanggung jawab murid
- Tidak menunda-nunda kesempatan dalam belajar atau tidak malas.
- Berhati-hati, menghindari hal-hal yang kurang bermanfaat.
- Memuliakan dan memperhatikan hak guru , mengikuti jejak guru.
- Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan guru.
- Berbicara dengan sopan dan santun dengan guru.
- Bila terdapat sesuatu yang kurang bisa dipahami hendaknya bertanya.
- Pelajari pelajaran yang telah diberikan oleh guru secara istiqomah.
- Pancangkan cita-cita yang tinggi.
- Tanamkan rasa antusias dalam belajar.[5]
b. Tanggung jawab guru
- Bersikap tenang dan selalu berhati-hati dalam bertindak.
- Mengamalkan sunnah Nabi.
- Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih gemerlap dunia.
- Berahlakul karimah dan selalu menabur salam.
- Menghindarkan diri dari tempat-tempat yang kotor dan maksiat.
- Memberi nasehat dan menegur dengan baik jika ada anak yang bandel.
- Mendahulukan materimateri yang penting dan sesuai dengan profesi yang dimiliki.[6]
5. Paradigma Pembaharuan Pendidikan Pesantren dan Madrasah.
a. Paradigma dari teosentris ke anthroposentris.
Pada awalnya tujuan pendidikan di pesantren lebih berkonsentrasi pada urusan ukhrawi, dan nyaris terlepas dari urusan duniawi. Dengan tujuan yang demikian, maka system pendidikan di pesantren lebih banyak didominasi dengan warna-warna fiqh, tasawuf, ahlak dan sejenisnya. Ini bisa dimaklumi karena sumber teologi yang di anut bersifat fatalis dan tidak rasional sehingga sebagian besar pesantren menolak masuknya ide pembaharuan. Melihat kondisi yang demikian, Wahid Hasyim menawarkan ide pembaharuan dengan merekonstruksi tujuan pembelajaran di pesantren, yang semula santri diarahkan untuk mencetak ahli agama ( ulama ), dengan menyarankan agar tidak semua santri menjadi ulama, namun tetap memahami ajaran agama sebagaimana dipelajari di pesantren.
Maksud dari ide beliau, santri belajar di pesantren tidak semata-mata mengharap ridho dari Allah tetapi juga setelah tamat mampu beradaptasi, berdialog dengan masyarakat dengan ketrampilan yang dimiliki. Santri mampu menggunakan akal pikirannya guna menyelesaikan berbagai problem di masyarakat seperti masalah ekonomi. Inilah salah satu ide cemerlang Wahid Hasyim yang dalam dunia pendidikan kontemporer dikenal dengan istilah life skill education ( pendidikan kecakapan hidup ).[7]
b. Paradigma dikotomi kepada non dikotomi.
Wahid Hasyim hidup di masa penjajahan Belanda dan Jepang. Berbagai bentuk perlawanan terhadap penjajah terus menerus dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat, baik secara fisik ataupun non fisik. Secara fisik bangsa Indonesia melakukan penyerangan kepada pos-pos benteng pertahanan penjajah sedangkan secara non fisik terutama madrasah menolak mata pelajaran umum seperti bahasa Asing yang di ajarkan di sekolah-sekolah Belanda. Bahkan sebagian ulama mengharamkan pelajaran umum tersebut diajarkan di pesantrennya. Sikap ini mengakibatkan munculnya dikotomi antara ilmu agama dan non agama. Realitas inilah yang ingin dibongkar oleh Wahid Hasyim, dan dia berpendapat bahwa materi yang diajarkan di pesantren haruslah merupakan ilmu-ilmu yang komprehensif.
c. Paradigma teoritik ke praktis.
Pengejawantahan ilmu dalam kehidupan nyata ( praktis ) menjadi sebuah tuntutan di era krisis multi dimensi seperti yang sedang melanda bangsa Indonesia sekarang. Banyak pihak berasumsi bahwa krisis moral yang melanda disebabkan kegagalan dunia pendidikan baik pendidikan umum dan pendidikan yang berbasis keagamaan untuk memproduk siswa atau santri yang mampu menyelaraskan antara ilmu dengan amal. Wahid Hasyim telah menerapkan konsep pendidikan yang dinilai mampu menciptakan peserta didik yang ideal, yaitu santri yang tidak hanya mampu menguasai konsep secara sempurna tapi mampu mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.[8]
6. Model Pembaharuan Pesantren dan Madrasah.
a. Pembaharuan kelembagaan ( institusi ).
Model pembaharuan kelembagaan maksudnya yaitu pembaharuan atau perubahan lembaga pendidikan Islam, baik melalui transformasi diri lembaga yang sudah ada maupun mendirikan lembaga pendidikan Islam yang baru. Dalam kontek ini, Wahid Hasyim mentransformasi lembaga yang sudah ada yaitu pesantren Tebuireng kemudian di modifikasi dengan mendirikan madrasah Nizamiyah yang dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat belajar santri diluar pesantren dan madrasah. Artinya selain pesantren mengajarkan ilmu agama juga di ajarkan ilmu umum kepada santrinya dengan maksud seorang santri atau dunia pesantren tidak boleh berada di Menara Gading dan mengambil jarak dengan masyarakat. Pesantren seharusnya turut ambil bagian dalam menyelesaikan berbagai problematika masyarakat baik social, agama, politik, budaya maupun keamanan.[9]
b. Isi kurikulum.
Kurikulum pesantren di sini dimaknai sebagai berbagai jenis mata pelajaran yang di ajarkan dalam proses belajar mengajar di pesantren atau madrasah. Dimana materi yang diajarkan di bidang tehnis berupa ilmu fiqh, ilmu tafsir, mawaris, ilmu falaq. Bidang hafalan yaitu pelajaran Al-Quran, ilmu bahasa Arab. Sedang ilmu yang bersifat membina emosi keagamaan seperti aqidah, tasawuf dan ahlaq. Menurut Wahid Hasyim bahwa dalam beberapa hal, pesantren tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan zaman sehingga sangat membutuhkan pembaharuan. Maka untuk mewujudkan itu Wahid Hasyim memasukkan ilmu-ilmu sekuler kepada madrasahnya seperti aritmatika, sejarah , geografi, ilmu pengetahuan alam, Bahasa Inggris dan Belanda.
c. Metodologi pembelajaran.
Seperti yang kita ketahui , sistem atau metode pembelajaran di pesantren ( terutama pesantren salaf ) menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Murid posisinya hanya sebagai pendengar budiman, menghafal dan menulis sehingga murid atau santri tidak bisa mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya seperti mengajukan pertanyaan atau bahkan lebih kritis lagi yaitu dengan mengadakan diskusi. Kondisi inilah yang akan diperbaharui oleh Wahid Hasyim yaitu dalam pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan sistem tutorial [10]. Dengan konsep ini di harapakan proses pembelajaran berjalan dan menghasilkan atau memproduk siswa atau santri yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat karena bermutu [11]
BAB III. KESIMPULAN
Terdapat hubungan yang saling terkait antara pendidikan di satu sisi dan pembaharuan di sisi lain. Pendidikan adalah persyarat dan kondisi yang mutlak bagi masyarakat dalam menjalankan program modernisasi atau pembaharuan. Sehingga kualitas pendidikan di upayakan sedemikian rupa untuk mencapai pembaharuan agar kemajuan bangsa dapat di capai. Karena itu banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu ke arah modernisasi. Pada sisi lain pendidikan sering di anggap sebagai obyek modernisasi ( pembaharuan ).
DAFTAR PUSTAKA
  • Basori, Ruchman. Pesantren Modern Indonesia. Jakarta : Inceis, 2008.
  • Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2007.
  • Esposito, John – Voll, John O. Tokoh- Kunci Gerakan Islam Kontemporer. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
  • Sallis, Edward. Total Quality Management in Education. Yogyakarta : IRCiSoD, 2008.
  • Hobri. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jember : Word Editor, 2009.
  • Anwar, Rosehan. Ulama Dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Keagamaan. Jakarta : Badan Litbang Departemen Agama RI, 2003.
  • Tim Edit. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve,1994.
  • Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam . Jakarta : Ciputat Press, 2002.
_______________
[1] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta : PT Ihtiar Baru Van Hoeve, 1994 ), 163.
[2] Ruchman Basori, Pesantren Modern Indonesia ( Jakarta : PT Inceis cetakan ke dua, 2008), 64.
[3] Ibid., 65.
[4] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam ( Malang : Erlangga. 2007 ) , 73.
[5] Samsul Nizar, filsafat pendidikan Islam ( Jakarta : Ciputat Pres. 2002 ), 159.
[6] Ibid 163-165.
[7] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta Pendidikan Islam ( Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007), 45.
[8] John L. Esposito- John O. Voll , Tokoh-Kunci Gerakan Islam Kontemporer ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada , 2002), 260.
[9] H. Rosihan Anwar, Ulama Dalam Penyebaran Pendidikan dan Khazanah Keagamaan ( Jakarta : PT. Pringgondani berseri, 2003 ), 145.
[10] H. Hobri, Model-Model Pembelajaran inovatif ( Jember : Word Wditor, 2009), 25.
[11] Edward Sallis, Total Quality Management in Educatioan ( Yogyakarta : IRCiSoD, 2008 ), 86.

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT MUHAMMAD ABDUH

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT 
MUHAMMAD ABDUH
A. Riwayat Hidup Muhamad Abduh 
 
Muhamad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 didesa mahallat nasr mesir. ayahnya bernama Abduh Hasan Khoirullah berasal dari turki. Menurut riwayat ibunya berasal dari bangsa arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsa Umar Bin Khatab.
 
Pendidikan Muhamad Abduh di mulai dengan balajar menulis dan membaca di rumah setelah beliau hapal kitab suci al-qur’an pada tahun 1863 ia di kirim oleh orang tuanya ke thamta untuk meluruskan bacaanya dan tajwid di masjid al-ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhamad abduh kembali ke mahallat nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar.
 
Pada tahun 1866 dalam usia 20 tahun beliau menikah dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti halnya dengan ayahnya. Tidak lama menikah, ayahnya memaksa beliau untuk kembali ke thamta tetap dalam perjalanan beliau tidak ke thamta tetapi kedesa Kani Sahurin tempat tinggal Syekh Darwish Khadr yang belajar berbagai ilmu agama di mesir. Syekh Darwish mendorong Muhamad Abduh untuk selalu membaca, berkat dorongan Syekh Darwish, Muhamad Abduh kembali menumbuhkan semangatnya untuk belajar dan membaca buku.
Setelah mengalami perubahan mental terhadap belajar, maka ia kembali ke masjid Ahmadi di thamtha untuk belajar. Pada tahun 1866 beliau berangkat ke Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Metode pengajaran di Al-Azhar masih sama dengan di masjid Al-Ahmadi yakni metode mengahapal. Kondisi Al-Azhar ketika itu berlawanan dengan kebiasaan merupakan sesuatu kekafiran. Membaca buku geografi, ilmu kalam dan filsafat adalah haram, sedangkan memakai sepatu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam sebenarnya.
 
Situasi dan kondisi masyarakat Muhamad Abduh beku, kaku menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal di dalam memahami syariah sementara di eropa khususnya kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal. Kondisi demikian, pada dekade selanjutnya akan berpengaruh terhadap ke adan mesir.
 
Namun pengaruh tersebut dirasakan Muhamad Abduh pada saat ia memasuki universitas Al-Azhar sebagai suatu lembaga pendidikan formal yang membina dan ulama-ulama terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganut pola taqlid yang merupakan kelompok yang mayoritas dan yang kedua, kelompok yang menganut pola tajdid dan merupakan kelompok minoritas. Muhamad Abduh berada di kelompok minoritas yang ketika itu di pelopori antara lain: Syekh Muhamad Al-Basyuni (ahli sastra) dan Syekh Hasan Thawil (ahli filsafat dan logika)

B. Konsep Pendidikan Muhamad Abduh 
 
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhamad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali masing-masing berdiri sendiri.
 
Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkn para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tardisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.
 
Muhamad Abduh malihat terdapat segi-segi negatif dari kedua bentuk pemikiran seehingga ia mengkritik kedua corak lembaga ini. Oleh karena itu ia memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. semetara pola fikir yang kedua, Muhamad Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tampa nilai “religius” merupakan bahaya ynag mengancam sendi agama dan moral.
 
Dari sinilah Muhamad Abduh melihat perlunya mengadakan perbaikan terhadap kedua institusi itu sehingga dua pola pandidikan tersebut dan saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.

C. Urgensi Ekualisasi Dalam Pendidikan 
 
Salah satu proyek terbesar Muhamad Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan, dualisme pendidikan yang muncul dengan adanya institusi yang berbeda sehigga menjadi motivasi bagi Muhamad Abduh untuk berusaha keras dua pola pikir tersebut.
 
Langkah yang di tempuh Muhamad Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini di lakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usaha Muhamad Abduh tersebut maka didirikan suatu lembaga yakni “majlis pendidikan tinggi”.
 
untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhamad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
 
1. Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
 
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhamad Abduh menetapkan tujuan, pendididkan islal yang di rumuskan sendiri yakni: Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat.
Pendidikan akal ditujuka sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Dengan menanamkan kebiasaan berpikir, Muhamad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
 
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhamad Abduh menselaraskan antara akal dan agama. Beliau berpandangan bahwa al-Qur’an yang diturunkan dengan pelantara lisan nabi di utus oleh tuhan. Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal.
 
2. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
 
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, manulis, dan menghitung. disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.
 
Bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
 
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsif-prinsif fiqh, histogarfi, seni berbicara.
 
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhamad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhamad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
 
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
  • Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di eropa kedalam al-azhar.
  • Mengubah sistgem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
  • Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid
  • Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
  • Masa belajar di perpanjang dan memperpendek masa liburan.
Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam. Usaha Muhamad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Suwito dan Fauzan.2003 sejarah. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa
 
Abdurachman Asseqaf Suyadi.2002. Pendidikan Islam mazhab kritis. Yogyakarata: Gama Media