Kamis, 14 Februari 2013

BERBAGAI CARA PENDEKATAN STUDI ISLAM (Bag. 2)

STUDI  AL-HADIS
Secara bahasa, kata al-hadis berasal dari kata hadatsa – yahdutsu – hadtsan – haditsan dengan pengertian yang bermacam. Al-hadis dapat berarti al-jadid min al-asyya’ (sesuatu yang baru) sebagai lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang sudah lama, kuno, klasik). Kata al-hadits dapat pula berarti al-qarib, yakni menunjukkan pada waktu yang dekat atau singkat. Al-hadis juga mempunyai makna al-khabar yang berarti ma yutahaddats bih wa yunqal (sesuatu yang diperbincangkan, dibicarakan, diberitakan dan dialihkan dari seseorang kepada orang lain.
Definisi hadis atau sunnah dapat dibedakan menurut disiplin ilmunya. Menurut sebagian ulama hadis, pengertian sunnah sama dengan pengertian hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., baik ucapan, perbuatan, sikap/ketetapan, sifatnya sebagai manusia biasa, dan akhlaknya apakah itu sebelum atau sesudah diangkatnya menjadi rasul. Berbeda dengan al-Thibby dan lainnya yang berpendapat bahwa hadis tidak hanya segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw., akan tetapi termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapan para sahabat dan tabi’in.
Sedangkan pengertian hadis menurut disiplin ilmu ushul fiqh adalah ucapan-ucapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Namun, bila ia mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum dinamakan sunnah. Dan pengertian hadis/sunnah menurut pandangan ulama ahli fiqh, disamping pengertian yang dikemukakan ulama ushul fiqh, juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi yang mengandung pengertian “perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa”.
Terjadinya perbedaan pengertian tersebut di atas disebabkan perbedaan sudut pandang masing-masing terhadap hadis/sunnah. Ulama hadis memandang bahwa hadis maupun sunnah adalah hal yang satu dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, disamping mereka juga berpendapat bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang patut diteladani (uswatun hasanah), sehingga apapun yang berasal dari beliau dapat diterima sebagai hadis. Ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis merupakan salah satu sumber atau dalil hukum serta sebagai dasar bagi para mujtahid dalam bidang hukum. Sedangkan ulama fiqh menempatkannya sebagai salah satu dari hukum taklifi yang lima, yaitu wajib, haram, makruh, mubah dan sunat, karena menurut mereka hadis adalah sifat syar’iyyah untuk perbuatan yang dituntut mengerjakannya akan tetapi tuntutan melaksanakannya tidaklah pasti, sehingga orang yang melaksanakannya diberi pahala dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.
Harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah yang disampaikan oleh malaikat Jibril yang kemudian Nabi Muhammad saw. langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya dari generasi ke generasi. Redaksi al-Quran dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara mutawatir oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat berbohong. Atas dasar ini wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath’i al-wurud.
Berbeda dengan hadis yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Disamping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi’in. ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otentisitasnya adalah zhanni al-wurud.
Diantara naskah-naskah hadis sebelum Umar bin Abd al-‘Aziz memerintahkan pengumpulan dan penulisan hadis, antara lain:
  • Al-Shahifah al-Shahihah (Shahifah Humam),
  • Al-Shahifah al-Shadiqah,
  • Shahifah Sumarah bin Jundub,
  • Shahifah Jabir bin ‘Abdullah,
  • Shahifah ‘Ali bin Abi Thalib.
Dapat disebutkan beberapa faktor hadis di masa  Nabi saw. belum dibukukan, yaitu:
  • Larangan Nabi saw. untuk tidak menulis al-Qur’an, selain untuk catatan pribadi, sehingga al-Qur’an dapat terjaga kemurniannya.
  • Nabi saw. selalu hadir di tengah-tengah umat Islam sehingga tidak memerlukan ditulisnya hadis.
  • Kemampuan baca-tulis masyarakat ketika itu sangat terbatas, sekalipun ada maka difokuskan pada penulisan al-Qur’an.
  • Saat itu umat Islam sedang berkonsentrasi kepada al-Qur’an.
  • Kesibukan umat Islam yang luar biasa menghadapi perjuangan da’wah Islamiyah.
Menurut penelitian para ahli hadis, pada garis besarnya kitab-kitab hadis itu dapat diklasifikasikan kepada:
  • Kitab Hadis Shahih, yaitu kitab yang hanya menghimpun hadis-hadis shahih saja menurut masing-masing penulisnya. Seperti Shahih al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan  seterusnya.
  • Kitab Sunan, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis termasuk hadis dha’if (lemah/palsu) yang dijelaskan kelemahan dan kepalsuannya. Seperti, Sunan al-Tirmizi, al-Darimi, al-Baihaqi, dan seterusnya.
  • Kitab Musnad, yaitu kitab yang menghimpun semua hadis tanpa menyaringnya. Seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Abi ‘Awanah, al-Syafi’i, dan seterusnya.
Diantara kitab-kitab hadis tersebut, yang dinilai terbaik adalah 6 kitab hadis yang secara berurutan: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah. Keenam kitab ini disebut Kutub al-Sittah. Sementara ulama lain menambahkan 3 kitab hadis lainnya, yaitu Musnad Ahmad, al-Muwaththa’ dan Sunan al-Darimi sehingga menjadi 9 kitab yang kemudian disebut Kutub al-Tis’ah.
Suatu hadis terdiri dari 3 unsur. Pertama, matn (materi hadis). Suatu matn hadis yang baik ialah apabila hadis itu tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an atau matn hadis lain yang lebih kuat sanad-nya, tidak pula bertentangan dengan rasio, fakta sejarah, dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Untuk mengetahui hal ini dibutuhkan ilmu ‘Ilal al-Hadis, Nasikh wa al-Mansukh, Ma’ani al-Hadis, Gharib al-Hadis, Syaz al-Hadis, Talfiq / Mukhtalif al-Hadis, Asbab al-Wurud al-Hadis, dan Tashhif wa al-Tahrif al-Hadis.
Kedua, sanad (rangkaian rawi). Sanad yang baik ialah sanad yang bersambung (muttashil) rawi (periwayat)-nya, baik dalam kedudukannya sebagai penerima maupun penyampai hadis, mereka pernah bertemu, bahkan rawi penerima pernah berguru kepada rawi penyampainya. Jika diantara mereka ada yang tidak memenuhi persyaratan tersebut maka hadis yang diriwayatkannya adalah mursal (terputus) yang berarti mardud (tertolak). Penelitian sanad dapat dilakukan dengan menggunakan ilmu Thabaqat al-Ruwah, Fann al-Mubhamat, dan Tahammul wa al-Ada’.
Ketiga, rawi (orang yang meriwayatkan hadis). Rawi yang dapat diterima periwayatannya haruslah tsiqqah (terpercaya), yakni memenuhi syarat ‘adil (benar, tidak pernah dusta, jujur, dan tidak biasa berbuat dosa (kualitas kepribadian)), dan dhabith atau hafizh (kuat hafalan, tidak pelupa, punya catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan (kualitas intelektual). Untuk mengetahui kualitas rawi, dibutuhkan ilmu Rijal al-Hadis, al-Jarh wa al-Ta’dil, dan Tarikh al-Ruwah.
Gejolak Pemikiran Tentang Hadis
Ulama yang cukup tersohor dalam bidang penelitian dan kritik hadis pada masa kodifikasi hadis, diantaranya adalah Imam al-Syafi’i dan Imam al-Bukhari. Keduanya ini dikenal cukup ulet dan teliti dalam mencari, mengumpulkan, menyaring, mengkritisi, dan membukukan hadis-hadis Nabi.
Al-Syafi’i berhasil menegakkan otoritas hadis dan menjelaskan kedudukan serta fungsi hadis nabi secara jelas dengan alasan-alasan yang mapan. Dengan pembelaannya itu, ia memperoleh pengakuan dari masyarakat sebagai Nashir al-Sunnah (Pembela Sunnah). Bahkan ia dipandang sebagai ahli hukum Islam yang berhasil merumuskan konsep ilmu hadis.
Dari sisi lain, al-Syafi’i juga dipandang sebagai perintis dalam perumusan kaidah-kaidah ilmu hadis. Seperti di dalam kitabnya al-Risalah yang banyak terdapat rumusan-rumusan yang berkaitan dengan ilmu hadis, terutama persyaratan rawi dan hal-hal yang berkaitan dengan ‘ilat, syaz, dan ikhtilaf hadis.
Ulama lainnya adalah Imam al-Bukhari yang salah satu karyanya, Shahih al-Bukhari, menjadi salah satu kitab hadis yang utama. Meskipun banyak dikritik oleh para ulama, namun al-Bukhari dapat dikatakan sebagai pencetus ilmu-ilmu hadis, baik dalam prakteknya ketika ia mengumpulkan hadis maupun dalam teori yang banyak ia tulis dalam kitab-kitabnya yang lain. Dalam menjaring hadis yang shahih, setidaknya al-Bukhari menggunakan 5 kriteria, yaitu: (a) rawi yang berkualitas kepribadiannya (‘adalah); (b) rawi yang tinggi kapasitas intelektualnya (dhabth); (c) sanad yang bersambung (ittishal al-isnad); (d) tidak ada cacat pada sanad dan matn-nya; dan (e) matn hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadis mutawatir.
Pada masa modern, cukup banyak ulama masa kini yang melakukan kajian terhadap hadis. Sebut saja misalnya, Musthofa al-Siba’i, Muhammad al-Ghazali, Zainuddin al-‘Iraqi, Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthallib, Mahmud Abu Rayyah, Mahmud al-Thahhan, ‘Ajaj al-Khatib, Nuruddin ‘Atar, dan masih banyak lagi. Di Indonesia, walau masih tergolong sedikit, tetapi cukup berperan dalam kajian hadis dan ilmu hadis. Seperti Ali Musthofa Yakub, Quraish Shihab, M. Luthfi Abdullah, dan lainnya.
Dari sisi outsider, Mereka mengkritisi dan mengingkari hadis dari berbagai segi, diantaranya pengingkaran terhadap penulisan dan penghafalan hadis, tidak dapat dibedakan antara hadis shahih dan palsu akibat kodifikasi yang terlambat, pengingkaran sistem isnad dan rawi, pengingkaran adanya konsensus tentang ke-shahih-an hadis, dan seterusnya.
Upaya mereka tersebut, meskipun hanya dalam bentuk wacana, tetapi sedikit banyak mempengaruhi pikiran dan asumsi masyarakat muslim, khususnya mereka yang awwam menjadi mudah teracuni. Maka untuk menjawab tantangan tersebut, para ulama dan pemikir Islam bangkit untuk menangkis pemikiran-pemikiran kaum outsider yang mengingkan kehancuran Islam. Terjadilah perang intelektual antara kaum orientalis dan kaum ulama Islam di berbagai penjuru dunia. Namun, usaha memerangi pemikiran orientalis tidaklah cukup bila tidak diiringi dengan usaha penanaman kembali nilai-nilai Islam pada masyarakat muslim itu sendiri.
STUDI  ILMU KALAM (TEOLOGI)
Adalah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam (ushuluddin), Ilmu kalam mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan  berupaya  membuktikan  keabsahannya  dan  menjawab  keraguan terhadap akidah-akidah pokok. Sumber-sumbernya Al-Quran, hadist, pemikiran manusia. Obyek Pembahasan Ilmu Kalam :
  1. Masalah pengetahuan (al-Ma’rifah) cara memperolehnya, tujuan mengukuhkan keyakinan mengenai pengetahuan informatif    (al-ma’rifah al-khariyyah), khususnya  yang  dibawa oleh Rasul,  tujuannya untuk  meng-counter pandangan Thummamiyyah dan safsata’iyyah (sofisme) yang menolak pengetahuan informatif.
  2. Masalah kebaruan alam (huduts al’alam) yang bertujuan membuktikan kewujudan zat yang maha pencipta. Ini merupakan bantahan terhadap filosofi .
  3. Masalah Keesaan Allah sebagai bantahan terhadap pandangan tsanawiyah yang meyakini eksistensi tuhan cahaya  (al-nur) dan tuhan kegelapan (al-zulmah).
  4. Masalah  sifat  Allah dan  hubungannya  dengan  zat-Nya,  apakah zat-Nya  sama dengan sifatnya, ataupun berbeda. Ini merupakan bantahan terhadap kaum Mu’tazilah yang terpengaruh filsafat Yunani. Ketika konsep jawhar (substansi) dan ‘arad (aksiden)  serta  aqnumiyah (oknum  dalam  teologi  kristen)  yang digunakan untuk menjustifikasi konsep teologis mereka, dimana Tuhan dianggap akumulasi dari Bapak, anak, ruh kudus.
  5. Masalah  tanzih (pensucian)  Allah  dan  penolakan  tasybih (penyeruan  Allah), tujuan untuk  membantah pandangan orang  yahudi yang  menambahkan Tuhan dengan ciri-ciri manusia.
  6. Masalah  kalam  Allah,   baik  qadim  maupun  baru,   ini  terpengaruh  dengan pandangan teologi Kristen mengenai al-Masih yang dianggap sebagai kalimatullah. menurut teologi Kristen, Al-Masih adalah Tuhan sedangkan pandangan Islam, beliau adalah Kalimatullah.
  7. Masalah Kenabian yang bertujuan untuk mengukuhkan keyakinan pada kenabian Muhammad SAW, dan mengkonter sekte Sabi’ah dan Brahmana (Hindu) yang menolak kebutuhan manusia pada nabi, Juga membantah orang-orang yahudi dan Nasrani yang menolak kenabian Muhammad.
  8. Masalah ke-ma’shum-an para Nabi yang bertujuan membantah pandangan Yahudi bahwa Nabi mempunyai kelemahan, dosa, dan tidak Ma’shum.
  9. Masalah tempat  kembali (al-mi’ad)  yang  membantah pandangan reincarnation (penjelmaan kembali) Agama Budha dan lainnya.
  10. Masalah al-jabr  wa al-iktiyar (keterbatasan dan kebebasan berkehendak)  yang terpengaruh dengan pandangan freewill dan fatalisme filsafat Yunani.
Sejarah Kemunculan Permasalahan Ilmu Kalam
1.   Aliran Khawarij
Kemunculan persoalan kalam dipicu persoalan politik atas terbunuhnya Ustman bin Affan yang berbuntuk penolakan Mua’wiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib mengkristal menjadi Perang Shifin yang berakhir dengan keputusan Tahkim, dimana Ali menerima tipu muslihat Amr bin Ash, utusan Mu’awiyah. Mereka berpendapat persoalan yang terjadi tidak  dapat  diputuskan  dengan  tahkim,  semboyan  mereka  hukum  harus  kembali kepada Al-Quran. Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah dan mereka meninggalkan barisannya, sehingga mereka disebut khawarij.
Menegaskan  bahwa orang  yang  berdosa besar  adalah  kafir.  Dalam arti telah keluar dari Islam atau telah murtad dan wajib dibunuh. Mereka umumnya berasal dari suku Badawi, kehidupannya di padang pasir yang tandus, sehingga mereka hidup bersifat sederhana  baik dalam cara hidup dan pemikiran, keras hati, radikal, bengis dan suka kekerasan, fanatik berfikiran sempit, tidak dapat mentolerir hal-hal yang dianggap menyimpang dalam pandangan keislamannya. Sehingga merekapun dengan mudah terpecah belah menjadi golongan kecil-kecil. Sehingga dapat dimengerti mengapa mereka terus mengadakan perlawanan dengan penguasa jamannya. Golongan Khawarij ada 8 yang terbesar yaitu : Al-Muhakkimah, Al- Azariqah, Al-Nadjat, Al-Baihasiyyahn, Al-ajaridah, Al-Sa’alibah, dan Al-Shufriyah.
2.  Aliran Murji’ah
Nama murjiah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, pengharapan.memberi pengharapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat  Allah (arja’a) atau orang  yang  menunda penjelasan kedudukan seseorang  yang  bersengketa yaitu  Ali dan Muawiyah serta pasukannya.
Murjiah  menangguhkan penilaian terhadap orang  yang  terlibat  dalam peristiwa tahkim dihadapan Allah. Karena Allah lah yang mengetahui iman seseorang. Demikian pula orang-orang  mukmin yang  melakukan dosa besar dianggap tetap mukmin/bukan kafir selama ia tetap mengucapkan 2 kalimat syahadat.
Terdapat nama-nama seperti Al-Hasan Ibnu Muhammad bin Ali bin bi Thalib. Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadist. Menurut Abu Hanifah, Iman adalah pengetahuan dan pengetahuan adanya Tuhan, Rasul-rasulnya dan tetang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian: Iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang dan tidak ada perbedaan diantara manusia dalam hal iman.
3.  Aliran Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab yaitu qadara (kemampuan dan kekuatan), aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi perbuatannya sendiri, penekanan pada kebebasan manusia dalam mewejudkan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan melaksanakan kehendaknya, menentukan keputusan . dalam surat Al-Rad ayat 11, Allah berfirman:”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu bangsa, kecuali jika bangsa itu mengubah keadaan diri mereka sendiri.
4.  Aliran Mu’tazilah
Ajaran Mutazilah yang mengalami jaman kejayaan pada saat peradaban Islam the golden age (abad 7 abad sampai abad 13). Ketika itu muncul banyak ilmuwan seperti Ibnu Sina (bapak kedokteran), Ibnu Khawarijmi (bapak matematika). Aliran Mu’tazilah mengakar dari paham qadariyah. Secara harfiah, mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah. dibina oleh Wasil bin Ata. (lahir 81-131  H), belajar pada Hasan al-Basri salah satunya.
Ada 5  pokok  ajaran Mu’tazilah  yang  menjawab masalah akal dan wahyu dalam menjawab persoalan teologis yaitu: (1) Al-Tauhid, yaitu Kemahaesaan Tuhan, Tuhan Maha Esa, zat yang Unik dan tiada yang serupa dengan dia. (2) Al-adl, yaitu Keadilan Tuhan, Dari sini timbullah paham kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, manusia harus bertanggung jawab kepada perbuatannya,  paham  al-shalih  wa-ashlah,  wajib  bagi  Tuhan  berbuat  baik  kepada manusia, mengirin nabi-nabi untuk menyampaikan segala yang diketahui akal, wajib untuk tidak memberi beban diluar batas kemampuan, terikatnya tuhan kepada janji-janji-Nya dan sebagainya,  (3) Al-Wa’d wa al-wa’id,  memiliki arti Tuhan wajib memberi pahala bagi orang yang berbuat baik dan wajib menghukum orang yang berbuat mungkar di akherat. (4) Al-Manzilah bayna al-manzilatain, yaitu pemposisian di tengah bagi pembuat dosa besar, mereka tidak kafir tetapi juga tidak mukmin, tidak surga dan tidak juga neraka, tapi posisi siksa ringan yang terletak diantaranya, (5) Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an Al-munkar, yaitu suatu perintah berbuat baik dan larangan berbuat  jahat  yang  berhubungan dengan usaha  membina  moral dan suatu kontrol sosial.
5.  Aliran Jabariyah
Jabara mengandung arti memaksa, menurut Al-Syahrastani, jabariah berarti menghilangkan perbuatan dari hamba seorang hakikat dan menyadarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Paham ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat arab. Di hadapan alam yang tandus, ganas, berpasir, indah namun kejam, menyebabkan jiwa mereka dekat kepada Zat yang Maha. Dengan semata-mata tunduk, patuh pasrah. Al-Shaffat ayat 96, ditegaskan: Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat.
6.  Aliran Asy’ariyah
Nama  lengkapnya Abdul Hasan Ali bin Ismail Al-asyari 260 H/873M –  324 H/935M),  keturunan  Abu  Musa  Al-Asyari.,  salah  satu  perantara  dalam  sengketa antara Ali dan Mu’awiyah. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu’tazilah terkenal yaitu Al-Jubba’i , yang diikutinya sampai ia berumur 40 tahun, setelah bersembunyi selama 15 hari, kemudian ia pergi ke Mesjid Basrah dan di depan orang banyak, mula-mula dia mengatakan bahwa: Quran itu mahluk, Tuhan tidak dapat dilihat mata kepala. Dia tidak lagi sepaham dengan mu’tazilah yang melibatkan akal di atas  segalanya. Ia mengkawatirkan  quran  dan Hadist  yang  menjadi korban paham-paham mu’tazilah yang menurutnya pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pekerjaan akal dan pikiran. Abu  Hasan  al-Asy’ari  tampil  dengan  konsep  kasb (perolehan,  acquisition)  yang cukup rumit. Yakni, manusia tetap dibebani kewajiban melakukan kasb melalui ikhtiarnya, namun hendaknya ia ketahui bahwa usaha itu tak akan berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya. Karena kewajiban usaha atau kasb itu maka manusia bukanlah dalam keadaan tak berdaya seperti kata kaum Jabari, tapi karena usahanya toh tidak berpengaruh apa-apa kepada kegiatannya maka ia pun bukanlah makhluk bebas yang menentukan sendiri kegiatannya seperti kata kaum Qadari. Dan jika Allah memberi kita pahala (masuk surga), maka itu hanyalah karena kemurahan-Nya (bukan karena amal perbuatan kita), dan jika dia menyiksa kita (masuk neraka) maka itu hanyalah karena keadilan-Nya (juga bukan karena semata perbuatan kita).
7.  Aliran Maturidiyah
Abu Mansur ibnu Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkhan pada pertengahan ke-dua dari abad ke 9, wafat tahun 944 M, ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham- paham teologi nya banyak persamaan dengan Abu Hanifah. Pendapatnya    tentang  perbuatan manusia, Al-Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian ia mempunyai faham Qadariyah dan bukan jabariah, Mengenai orang yang berdosa besar masih tetap mukmin dan soal dosa-dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di akherat,  iapun menolak paham posisi  menengah kaum Mu’tazilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar