FILSAFAT ILMU
1.1. Filsafat
Filsafat dalam bahasa Inggris, yaitu philosophy,
adapun istilah filsafat berasal dari bahasa yunani, philosophia, yang
terdiri atas dua kata: philos (cinta) atau philia (persahabatan,
tertarik kepada) dan shopia (hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan,
keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi). Jadi secara etimologi, filsafat
berarti cinta kebijaksanaan atau kebenaran. Plato menyebut Socrates sebagai philosophos
(filosof) dalam pengertian pencinta kebijaksanaan. Kata falsafah merupakan
arabisasi yang berarti pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata filsafat menunjukkan pengertian yang dimaksud, yaitu
pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada,
sebab asal dan hukumnya. Manusia filosofis adalah manusia yang memiliki
kesadaran diri dan akal sebagaimana ia juga memiliki jiwa yang independen dan
bersifat spiritual. Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri
mereka sophist (kaum sofis) yang berarti cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi
manusia sebagai ukuran realitas dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam
kesimpulan mereka. Sehingga kata sofis mengalami reduksi makna yaitu berpikir
yang menyesatkan. Socrates karena kerendahan hati dan menghindarkan diri dari
pengidentifikasian dengan kaum sofis, melarang dirinya disebut dengan seorang
sofis (cendekiawan). Oleh karena itu istilah filosof tidak pakai orang sebelum Socrates
(Muthahhari, 2002).
Pada mulanya kata filsafat berarti
segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Mereka membagi filsafat kepada
dua bagian yakni, filsafat teoretis dan filsafat praktis. Filsafat teoretis
mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu
pertambangan, dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan dan metafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak);
(2) urusan rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Secara umum filsafat berarti upaya
manusia untuk memahami segala sesuatu secara sistematis, radikal, dan kritis.
Berarti filsafat merupakan sebuah proses bukan sebuah produk. Maka proses yang dilakukan
adalah berpikir kritis yaitu usaha secara aktif, sistematis, dan mengikuti
pronsip-prinsip logika untuk mengerti dan mengevaluasi suatu informasi dengan
tujuan menentukan apakah informasi itu diterima atau ditolak. Dengan demikian
filsafat akan terus berubah hingga satu titik tertentu (Takwin, 2001).
Defenisi kata filsafat bisa dikatakan
merupakan sebuah masalah falsafi pula. Menurut para ahli logika ketika
seseorang menanyakan pengertian (defenisi/hakikat) sesuatu, sesungguhnya ia
sedang bertanya tentang macam-macam perkara. Tetapi paling tidak bisa dikatakan
bahwa “falsafah” itu kira-kira merupakan studi yang didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
masalah secara persis, mencari solusi untuk ini, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu dan akhirnya dari proses-proses
sebelumnya ini dimasukkan ke dalam sebuah dialektika. Dialektika ini secara
singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk daripada dialog. Adapun beberapa
pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof adalah:
1. Upaya spekulatif untuk
menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan
hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata.
3. Upaya untuk menentukan
batas-batas dan jangkauan pengetahuan sumber daya, hakikatnya, keabsahannya,
dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis
atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh
berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang
berupaya untuk membantu Anda melihat apa yang Anda katakan dan untuk menyatakan
apa yang Anda lihat.
Plato (427–348 SM) menyatakan filsafat
ialah pengetahuan yang bersifat untuk mencapai kebenaran yang asli. Sedangkan
Aristoteles (382–322 SM) mendefenisikan filsafat ialah ilmu pengetahuan yang meliputi
kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,
etika, ekonomi, politik, dan estetika. Sedangkan filosof lainnya Cicero
(106–043 SM) menyatakan filsafat ialah ibu dari semua ilmu pengetahuan lainnya.
Filsafat ialah ilmu pengetahuan terluhur dan keinginan untuk mendapatkannya.
Menurut Descartes (1596–1650), filsafat
ialah kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia menjadi pokok
penyelidikannya. Sedangkan Immanuel Kant (1724–1804) berpendapat filsafat ialah
ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal segala pengetahuan yang
tercakup di dalamnya 4 persoalan:
a. Apakah yang dapat kita
ketahui?
Jawabannya termasuk
dalam bidang metafisika.
b. Apakah yang seharusnya
kita kerjakan?
Jawabannya termasuk
dalam bidang etika.
c. Sampai di manakah
harapan kita?
Jawabannya termasuk
pada bidang agama.
d. Apakah yang dinamakan
manusia itu?
Jawabannya termasuk
pada bidang antropologi.
Setidaknya ada tiga karakteristik
berpikir filsafat yakni:
1. Sifat menyeluruh:
seseorang ilmuwan tidak akan pernah puas jika hanya mengenal ilmu hanya dari
segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin tahu hakikat ilmu dari sudut pandang
lain, kaitannya dengan moralitas, serta ingin yakin apakah ilmu ini akan membawa
kebahagian dirinya. Hal ini akan membuat ilmuwan tidak merasa sombong dan
paling hebat. Di atas langit masih ada langit. contoh: Socrates menyatakan dia
tidak tahu apa-apa.
2. Sifat mendasar: yaitu sifat yang tidak saja begitu percaya
bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian
berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Apakah kriteria itu sendiri benar?
Lalu benar sendiri itu apa? Seperti sebuah pertanyaan yang melingkar yang harus
dimulai dengan menentukan titik yang benar.
3. Spekulatif: dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik
awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya dibutuhkan sebuah
sifat spekulatif baik sisi proses, analisis maupun pembuktiannya. Sehingga
dapat dipisahkan mana yang logis atau tidak.
Sir Isacc Newton, seorang ilmuwan yang
sangat terkenal, President of the Royal Society memiliki ketiga karakteristik
ini. Ada banyak penyempurnaan penemuan-penemuan ilmuwan sebelumnya yang dilakukannya.
Dalam pencariannya akan ilmu, Newton tidak hanya percaya pada kebenaran yang
sudah ada (ilmu pada saat itu). Ia menggugat (meneliti ulang) hasil penelitian
terdahulu seperti logika aristotelian tentang gerak dan kosmologi, atau logika
cartesian tentang materi gerak, cahaya, dan struktur kosmos. “Saya tidak
mendefenisikan ruang, tempat, waktu dan gerak sebagaimana yang diketahui banyak
orang” ujar Newton. Bagi Newton tak ada keparipurnaan, yang ada hanya pencarian
yang dinamis, selalu mungkin berubah dan tak pernah selesai. “ku tekuni sebuah
subjek secara terus menerus dan ku tunggu sampai cahaya fajar pertama datang
perlahan, sedikit demi sedikit sampai betulbetul terang”.
1.2. Munculnya Filsafat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul
di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang
mulai berpikirpikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat
muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti
Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak
seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar
filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi
filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid
Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah
“komentarkomentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat
besar pada sejarah filsafat.
1.3. Klasifikasi Filsafat
Di seluruh dunia, banyak orang yang
menanyakan pertanyaan yang sama dan membangun tradisi filsafat, menanggapi dan
meneruskan banyak karya-karya sesama mereka. Oleh karena itu filsafat biasa diklasifikasikan
menurut daerah geografis dan budaya. Pada dewasa ini filsafat biasa dibagi
menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Islam”.
Filsafat Barat
Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa
dipelajari secara akademis di universitas-universitas di Eropa dan
daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi
orang Yunani kuno. Menurut Takwin (2001) dalam pemikiran barat konvensional pemikiran
yang sistematis, radikal, dan kritis seringkali merujuk pengertian yang ketat
dan harus mengandung kebenaran logis. Misalnya aliran empirisme, positivisme,
dan filsafat analitik memberikan criteria bahwa pemikiran dianggap filosofis
jika mengadung kebenaran korespondensi dan koherensi. Korespondensi yakni
sebuah pengetahuan dinilai benar jika pernyataan itu sesuai dengan kenyataan
empiris. Contoh jika pernyataan ”Saat ini hujan turun”, adalah benar jika indra
kita menangkap hujan turun, jika kenyataannya tidak maka pernyataannya dianggap
salah. Koherensi berarti sebuah pernyataan dinilai benar jika pernyataan itu
mengandung koherensi logis (dapat diuji dengan logika barat).
Dalam filsafat barat secara sistematis
terbagi menjadi tiga bagian besar yakni: (a) bagian filsafat yang mengkaji tentang
ada (being), (b) bidang filsafat yang mengkaji pengetahuan (epistimologi
dalam arti luas), (c) bidang filsafat yang mengkaji nilai-nilai menentukan apa
yang seharusnya dilakukan manusia (aksiologi).
Beberapa tokoh dalam filsafat barat
yaitu:
1. Wittgenstein mempunyai aliran analitik (filsafat analitik) yang dikembangkan di
negara-negara yang berbahasa Inggris, tetapi juga diteruskan di Polandia.
Filsafat analitik menolak setiap bentuk filsafat yang berbau ″metafisik”.
Filsafat analitik menyerupai ilmu-ilmu alam yang empiris, sehingga
kriteria yang berlaku dalam ilmu eksata juga harus dapat diterapkan pada
filsafat. Yang menjadi obyek penelitian filsafat analitik sebetulnya bukan barang-barang,
peristiwa-peristiwa, melainkan pernyataan, aksioma, prinsip. Filsafat analitik
menggali dasar-dasar teori ilmu yang berlaku bagi setiap ilmu tersendiri. Yang
menjadi pokok perhatian filsafat analitik ialah analisa logika bahasa
sehari-hari, maupun dalam mengembangkan sistem bahasa buatan.
2. Imanuel Kant mempunyai aliran atau filsafat ″kritik” yang tidak mau melewati
batas kemungkinan pemikiran manusiawi. Rasionalisme dan empirisme ingin
disintesakannya. Untuk itu ia membedakan akal, budi, rasio, dan pengalaman
inderawi. Pengetahuan merupakan hasil kerja sama antara pengalaman indrawi yang
aposteriori dan keaktifan akal, faktor priori. Struktur pengetahuan harus kita
teliti. Kant terkenal karena tiga tulisan: (1) Kritik atas rasio murni, apa
yang saya dapat ketahui. Ding an sich, hakikat kenyataan yang dapat
diketahui. Manusia hanya dapat mengetahui gejala-gejala yang kemudian oleh akal
terus ditampung oleh dua wadah pokok, yakni ruang dan waktu. Kemudian diperinci
lagi misalnya menurut kategori sebab dan akibat dst. Seluruh pengetahuan kita
berkiblat pada Tuhan, jiwa, dan dunia. (2) Kritik atas rasio praktis, apa yang
harus saya buat. Kelakuan manusia ditentukan oleh kategori imperatif, keharusan
mutlak: kau harus begini dan begitu. Ini mengandaikan tiga postulat: kebebasan,
jiwa yang tak dapat mati, adanya Tuhan. (3) Kritik atas daya pertimbangan. Di
sini Kant membicarakan peranan perasaan dan fantasi, jembatan antara yang umum
dan yang khusus.
3. Rene Descartes. Berpendapat bahwa kebenaran terletak pada diri subyek. Mencari
titik pangkal pasti dalam pikiran dan pengetahuan manusia, khusus dalam ilmu
alam. Metode untuk memperoleh kepastian ialah menyangsikan segala sesuatu.
Hanya satu kenyataan tak dapat disangsikan, yakni aku berpikir, jadi aku ada.
Dalam mencari proses kebenaran hendaknya kita pergunakan ide-ide yang jelas dan
tajam. Setiap orang, sejak ia dilahirkan, dilengkapi dengan ide-ide tertentu,
khusus mengenai adanya Tuhan dan dalil-dalil matematika. Pandangannya tentang alam
bersifat mekanistik dan kuantitatif. Kenyataan dibaginya menjadi dua yaitu: “res
extensa dan res copgitans”.
Filsafat Timur
Filsafat Timur adalah tradisi falsafi
yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan
daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat
timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang
lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di Abad Pertengahan,
tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada
agama. Namanama beberapa filosof: Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi, dan
lain-lain.
Pemikiran filsafat timur sering dianggap
sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal
ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat.
Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat. Misalnya
dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi kronologis
mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin secara runut
(Takwin, 2001).
Belakangan ini, beberapa intelektual barat telah beralih ke
filsafat timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika yang mendalami taoisme,
untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang sudah terlanjur
dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 2005). Skeptisisme terhadap
metafisika dan filsafat dipelopori oleh Rene Descartes dan William Ockham.
Filsafat Islam
Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil
tempat yang istimewa. Sebab dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini
sebenarnya bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat
(Yunani). Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat
pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani
seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine
(354–430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480–524 M)
dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat
orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap
pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya
salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan
Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan
eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang
dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab
terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan
di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas
Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles
dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof
Islam (Haerudin, 2003).
Majid Fakhri cenderung mengangap
filsafat Islam sebagai mata rantai yang menghubungkan Yunani dengan Eropa
modern. Kecenderungan ini disebut europosentris yang berpendapat filsafat Islam
telah berakhir sejak kematian Ibn Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry
Corbin dan Louis Massignon yang menilai adanya eksistensi filsafat Islam.
Menurut Kartanegara (2006) dalam
filsafat Islam ada empat aliran yakni:
1. Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan
Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan
filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah
menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta
penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al
Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196),
dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
2. Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir
Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting
bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya
dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati
(nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
3. Aliran Irfani
(Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat
supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan
sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn
Arabi.
4. Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili
oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang
dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla
Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di
atas.
Dalam Islam ilmu merupakan hal yang
sangat dianjurkan. Dalam Al Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya
digunakan lebih 780 kali. Hadis juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi
setiap muslim. Dalam pandangan Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi:
ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi
manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang
dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan,
hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pandangan
keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya
dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan mempelajari dan mengenal dari
dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian penelitian alam semesta (jejak-jejak
ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya.
Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan tanda-tanda Allah
SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah, sedangkan kitab
suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum
menempati posisi yang mulia sebagai obyek ilmu.
1.4. Filsafat Ilmu
Filsafat mengambil peran penting karena
dalam filsafat kita bisa menjumpai pandangan-pandangan tentang apa saja
(kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan dan akuntabilitas pemikiran
serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan intelektual
(Bagir, 2005).
Menurut kamus Webster New World
Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang
artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta
mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang
dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami
perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis
yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan
untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa
Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui.
Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu
berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu
memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya
dibatasi pada bidang-bidang empirisme–positiviesme sedangkan ilmu melampuinya
dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003).
Berbicara mengenai ilmu (sains) maka
tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat pengetahuan adalah
menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”. Will
Duran dalam bukunya The story of Philosophy mengibaratkan bahwa filsafat
seperti pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat
yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Semua ilmu baik ilmu
alam maupun ilmu sosial bertolak dari pengembangannya sebagai filsafat. Nama
asal fisika adalah filsafat alam (natural philosophy) dan nama asal
ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac Newton
(1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi
menulis buku The Wealth Of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor
of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Agus Comte dalam Scientific
Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963 membagi tiga tingkat
perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif.
Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu
merupakan deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai
berspekulasi tentang metafisika dan keberadaan wujud yang menjadi obyek
penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan
di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan
ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam
proses verifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang
paling mendasar selain matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari
filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi. Epistimologi
berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge,
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali
dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni
epistemology dan ontology (on = being, wujud, apa +
logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses
kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat
pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang
disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan
yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi
asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis.
Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Sedang pengetahuan tak-ilmiah adalah
yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan
inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat.
Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti
ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi).
Pengetahuan Manusia
Pengetahuan
|
Obyek
|
Paradigma
|
Metode
|
Kriteria
|
Sains
|
Empiris
|
Sains
|
Metode
Ilmiah
|
Rasional
empiris
|
Filsafat
|
Abstrak
rasional
|
Rasional
|
Metode
rasional
|
Rasional
|
Mistis
|
Abstrak
suprarasional
|
Mistis
|
Latihan
percaya
|
Rasa,
iman, logis,kadang empiris
|
Sumber:
Tafsir, Ahmad, 2006, Filsafat Ilmu
Dengan lain perkataan, pengetahuan
ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara
prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan
verifikasi atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan
yang prailmiah, walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif, namun bersifat
acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak
dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak
diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai
pengetahuan “naluriah”.
Dalam sejarah perkembangannya, di zaman
dahulu yang lazim disebut tahap-mistik, tidak terdapat perbedaan di antara
pengetahuan-pengetahuan yang berlaku juga untuk obyek-obyeknya. Pada tahap
mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya,
sehingga semua obyek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain
berdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara
pengetahuan-pengetahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan
seseorang yang memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai
pemimpin yang mengetahui segala-galanya. Fenomena tersebut sejalan dengan
tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal berbagai organisasi
kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya diversifikasi pekerjaan. Seorang
pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja, antara lain sebagai
kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang, pejabat pernikahan, dan
sebagainya. Ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala
masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya adalah tahap-ontologis,
yang membuat manusia telah terbebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib,
sehingga mampu mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, dan dapat menelaahnya.
Orang-orang yang tidak mengakui status ontologis obyek-obyek metafisika pasti
tidak akan mengakui status-status ilmiah dari ilmu tersebut. Itulah mengapa
tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal pengembangan ilmu. Dalam
hal ini subyek menelaah obyek dengan pendekatan awal pemecahan masalah,
semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal ini merupakan salah
satu ciri pendekatan ilmiah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi
metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir secara analisis dan
sintesis. Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif,
yaitu menarik kesimpulan khusus dari yang umum. Hal ini mengikuti teori
koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang
disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang
pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian kebenaran. Dengan lain perkataan
kesimpulan tersebut praktis sudah diarahkan oleh kebenaran premis-premis yang bersangkutan.
Walaupun kesimpulan tersebut sudah memiliki kepastian kebenaran, namun
mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat rasional–abstrak, maka harus
dilanjutkan dengan logika berpikir secara induktif. Hal ini mengikuti teori
korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil pemikiran rasional dengan dukungan
data empiris melalui penelitian, dalam rangka menarik kesimpulan umum dari yang
khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka dimasukan tahap akhir yaitu tahap
fungsional.
Pada tahap fungsional, sikap manusia
bukan saja bebas dari kepungan kekuatan-kekuatan gaib, dan tidak semata-mata
memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, melainkan lebih daripada itu. Sebagaimana
diketahui, ilmu tersebut secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan langsung
bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional pengetahuan
sesungguhnya memasuki proses aspel aksiologi filsafat ilmu, yaitu yang membahas
amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan
tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu nafas tercakup pula telaahan
filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis,
yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Ini berarti
sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut
yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh
pengalaman inderawi. Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi,
dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, dan
ditarik kesimpulan. Dengan lain perkataan, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti
soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan.
Telaahan kedua adalah dari segi
epistimologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan
pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode dan teknik
memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi
langkahlangkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang berlangsung
di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya.
Telaahan ketiga ialah dari segi
aksiologi, yang sebagaimana telah disinggung di atas terkait dengan kaidah
moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh.
Epistimologi, Ontologi, dan Aksiologi
Tahapan
|
|
Ontologi
(Hakikat
Ilmu)
|
􀂃 Obyek apa yang telah ditelaah ilmu?
􀂃 Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
􀂃 Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya
tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan?
􀂃 Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu?
􀂃 Bagaimana prosedurnya?
|
Epistimologi
(Cara
Mendapatkan
Pengetahuan)
|
􀂃 Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu?
􀂃 Bagaimana prosedurnya?
􀂃 Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan dengan benar?
􀂃 Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri?
􀂃 Apa kriterianya?
􀂃 Sarana/cara/teknik apa
yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
|
Aksiologi
(Guna
Pengetahuan)
|
􀂃 Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
􀂃 Bagaiman kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral?
􀂃 Bagaimana penetuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral?
􀂃 Bagaimana kaitan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral/profesional?
|
Sumber: Suriasumantri, 1993
Teori pengetahuan yang bersifat
subjektif akan memberikan jawaban ”TIDAK”, kita tidak akan mungkin mengetahui,
menemukan hal-hal yang ada di balik pengaman dan ide kita. Sedangkan teori pengetahuan
yang bersifat obyektif akan memberikan jawaban ”YA”.
1.5. Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan
dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri
dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan
empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat
diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu
sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).
Di samping rasionalisme dan pengalaman
masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan
yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa
diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada
manusia.
Masalah yang muncul dalam sumber
pengetahuan adalah dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu
agama. Bagi agama Islam sumber ilmu yang paling otoritatif adalah Alquran dan
Hadis. Bagi ilmu umum (imuwan sekuler) satunya-satunya yang valid adalah
pengalaman empiris yang didukung oleh indrawi melalui metode induksi. Sedangkan
metode deduksi yang ditempuh oleh akal dan nalar sering dicurigai secara apriopri
(yakni tidak melalui pengalaman). Menurut mereka, setinggitingginya pencapaian
akal adalah filsafat. Filsafat masih dipandang terlalu spekulatif untuk bisa
mengkonstruksi bangunan ilmiah seperti yang diminta kaum positivis. Adapun
pengalaman intuitif sering dianggap hanya sebuah halusinasi atau ilusi belaka.
Sedangkan menurut agamawan pengalaman intuitif dianggap sebagai sumber ilmu,
seperti para nabi memperoleh wahyu ilahi atau mistikus memperoleh limpahan cahaya
Ilahi.
Masalah berikutnya adalah pengamatan.
Sains modern menentukan obyek ilmu yang sah adalah segala sesuatu sejauh ia
dapat diobservasi (the observables) atau diamati oleh indra. Akibatnya
muncul penolakan dari filosof logika positivisme yang menganggap segala
pernyataan yang tidak ada hubungan obyek empirisnya sebagai nonsens. Perbedaan
ini melahirkan metafisik (dianggap gaib) dan fisik (dianggap science).
Masalah lainnya adalah munculnya
disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Penekanan sains modern pada obyek
empiris (ilmu-ilmu fisika) membuat cabang ilmu nonfisik bergeser secara
signifikan ke pinggiran. Akibatnya timbul pandangan negatif bahwa bidang kajian
agama hanya menghambat kemajuan. Seperti dalam anggapan Freud yang menyatakan
agama dan terutama pendukungnya yang fanatic bertanggung jawab terhadap
pemiskinan pengetahuan karena melarang anak didik untuk bertanya secara kritis.
Masalah lainnya yang muncul adalah
menyangkut metodologi ilmiah. Sains pada dasarnya hanya mengenal metode observasi
atau eksperimen. Sedangkan agamawan mengembangkan metode lainnya seperti metode
intuitif. Masalah terakhir adalah sulitnya mengintegrasikan ilmu dan agama
terutama indra, intektual dan intuisi sebagai pengalaman legitimate dan
riil dari manusia.
1.6. Sejarah Perkembangan Ilmu
A. Zaman Yunani
Periode filsafat Yunani merupakan
periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu
terjadi perubahan pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan
mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa
bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang
menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut
tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi
secara kausalitas.
Filosof alam pertama yang mengkaji
tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa
sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air
karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi
benda gas, seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di
atas air.
Sedangkan Heraklitos mempunyai
kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya,
melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam
alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan
es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas
dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat
bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur
bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur
bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Menurut Abu
Al Hasan Al Amiri, seorang filosof muslim Phitagoras belajar geometri dan
matematika dari orang-orang mesir (Rowston, dalam Kartanegara, 2003).
Filosof alam ternyata tidak dapat
memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum
sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini
memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran
kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411 SM). Ia menyatakan bahwa
“manusia” adalah ukuran kebenaran. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat
kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk
berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa
baru. Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum sofis. Menurut
mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia.
Periode setelah Socrates disebut dengan
zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul
adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat
menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya,
kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi
pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, berhasil menemukan
pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu
sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles
berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme
terdiri dari tiga premis:
- Semua manusia akan mati (premis mayor).
- Socrates seorang manusia (premis minor).
- Socrates akan mati (konklusi).
Aristoteles dianggap bapak ilmu karena
dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.
B. Zaman Islam
Islam tidak hanya mendukung adanya
kebebasan intelektual, tetapi juga membuktikan kecintaan umat Islam terhadap
ilmu pengetahuan dan sikap hormat mereka kepada ilmuwan, tanpa memandang agama
mereka. Periode antara 750 M dan 1100 M adalah abad masa keemasan dunia Islam.
Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab
Islam, khususnya mazhab Peripatetik.
Al Farabi sangat berjasa dalam
mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam.
Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First, dan
Second Analysis telah diterjemahkan Al Farabi ke dalam bahasa Arab. Al
Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif
maupun induktif. Di samping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu
musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh
Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al Farabi diberi gelar Guru kedua,
sedang gelar Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi lain dari Al Farabi yang
dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al
Farabi telah memberikan defenisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang
berkembang pada zamannya. Al Farabi mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang
yaitu: logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu
fiqih (hukum).
Ilmu percakapan dibagi lagi ke dalam
tujuh bagian yaitu: bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis, dan membaca.
Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam: ilmu kalimat mufrad, preposisi,
aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar, dan aturan mengenai
syair yang baik. Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan
diakhiri dengan syair (puisi). Matematika dibagi dalam tujuh bagian.
Metafisika dibagi dalam dua bahasan,
bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai
filsafat ilmu. Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus
pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa
Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi madani, yang berarti
sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian
sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi
masyarakat madani. Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqih dan imu ketuhanan/kalam
(teologi).
Buku Al Farabi mengenai pembagian ilmu
ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk konsumsi bangsa Eropa
dengan judul De Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul De Scientiis atau De
Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia,
optik, dan geologi. Al Farabi (w.950) terkenal dengan doktrin wahda al wujud
membagi hierarki wujud yaitu (1) dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang merupakan
sebab bagi keberadaan yang lain, (2) para malaikat di bawahnya yang merupakan
sebab bagi keberadaan yang lain, (3) benda-benda langit (angkasa), (4)
benda-benda bumi. Al Farabi memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada
kesatuan filsafat dan bahwa tokohtokoh filsafat harus bersepakat di antara
mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran.
Filosof lain yang terkenal adalah Ibnu
Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang
filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang
ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur Canon,
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku
ini kemudian menjadi buku teks (text book) dalam ilmu kedokteran yang diajarkan
pada beberapa perguruan tinggi di Eropa, seperti Universitas Louvain dan
Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan betapa
pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat. Ibnu
Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada
ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya
disesuaikan dengan kekuatan penyakit.
Kitab lainnya berjudul Al Shifa diterjemahkan
oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan nama Avendauth Ben Daud) di Toledo.
Oleh karena Al Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh
Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika, dan De Anima.
Ibnu Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoretis dan bagian yang bersifat
praktis. Bagian yang bersifat teoretis meliputi: matematika, fisika, dan
metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi: politik dan etika.
Ibnu Sina, mengatakan alam pada dasarnya
adalah potensi (mumkin al wujud) dan tidak mungkin bisa mengadakan
dirinya sendiri tanpa adanya Tuhan. Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga
macam yakni (1) obyek-obyek yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan
gerak (metafisik), (2) obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan
gerak (fisika), (3) obyek-obyek yang pada dirinya immaterial tetapi kadang
melakukan kontak dengan materi dan gerak (matematika).
Ibn Khaldun dalam kitabnya Al
Muqaddimah membagi metafisika dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara
tentang hakikat wujud (ontologi). Dari sini muncul dua aliran besar yakni eksistensialis
(tokoh yang terkemuka adalah Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan esensialis
(tokoh yang terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi). Berikutnya Ibn
Khaldun membagi ilmu matematika ke dalam empat subdivisi yakni (1) geometri;
trigonometrik dan kerucut, surveying tanah, dan optik. Sarjana muslim
terutama Ibn Haitsam telah banyak mempengaruhi sarjana barat termasuk Roger
Bacon, Vitello dan Kepler (2)Aritmetika; seni berhitung/hisab, aljabar,
aritmatika bisnis dan faraid (hukum waris), (3) musik, (4) astronomi.
Dalam bidang ilmu mineral, dikenal karya
Al Biruni yang berjudul Al Jawahir (batu-batu permata), selain itu pada
abad ke-11 Al Biruni dikenal sebagai The master of observation di bidang
geologi dan geografi karena Al Biruni berusaha mengukur keliling bumi melalui metode
eksperimen dengan menggabungkan metode observasi dan teori trigonometri.
Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa keliling bumi adalah 24.778,5 mil
dengan diameter 7.878 mil. Tentu saja ini merupakan penemuan luar biasa untuk
masa itu, dengan ukuran modern saja yaitu 24.585 mil (selisih ± 139 mil) dengan
diameter 7.902 mil.
Dalam bidang ilmu farmakologi dan medis
dikenal karya Ibnu Sina yakni Al Qanun fi al Thibb dan Al Hawi oleh
Abu Bakr Al Razi, bidang nutrisi dikenal karya Ibn Bathar yakni Al Jami Li
Mufradat Al Adawiyyah wa Al Aghdziyah, di bidang zoologi dikenal karya Al
Jahizh yang berjudul Al Hayawan dan Hayat Al Hayawan oleh Al
Damiri. Di Andalusia terkenal seorang ahli bedah muslim, Ibn Zahrawi yang telah
mencitakan ratusan alat bedah yang sudah sangat maju untuk ukuran zamannya.
Filosof lainnya adalah Al Kindi, yang
dianggap sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al Nadhim
mendudukkan Al Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural
philosophy). Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu
pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, logika dan
filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penerjemah terbaik
kitab-kitab ilmu kedokteran dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab. Di samping
sebagai penerjemah, Al Kindi menulis juga berbagai makalah. Ibnu Al Nadhim memperkirakan
ada 200 judul makalah yang ditulis Al Kindi dan sebagian di antaranya tidak
dapat dijumpai lagi, karena raib entah kemana. Nama Al Kindi sangat masyhur di
Eropa pada abad pertengahan. Bukunya yang telah disalin ke dalam bahasa Latin
di Eropa berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu
optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron, dan Ptolemeus. Salah satu orang
yang sangat kagum pada berbagai tulisannya adalag filosof kenamaan Roger Bacon.
Filosof lainnya adalah Ibnu Rushd yang
lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol, meskipun seorang dokter dan telah
mengarang buku ilmu kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara
dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang
filosof.
Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar
mengenai Aristoteles, yaitu: komentar besar, komentar menengah, dan komentar
kecil. Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa: Arab, Latin,
dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite
karya Aristoteles dengan bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian
akhir. Dalam komentar menengah ia masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister
Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu
Rushd.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan
bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati
dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka-pemuka
agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk
menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu
Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam bukunya Falsafah El Ula (First
Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran
dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai
(Haeruddin, 2003).
C. Kemajuan Ilmu Zaman Renaisans dan Modern
Pada zaman modern paham-paham yang
muncul dalam garis besarnya adalah rasionalisme, idealisme, dan empirisme.
Paham rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam memperoleh
dan menguji pengetahuan. Paham idealisme mengajarkan bahwa hakikat fisik adalah
jiwa, spirit. Ide ini merupakan ide Plato yang memberikan jalan untuk
mempelajari paham idealisme zaman modern. Paham empirisme dinyatakan bahwa
tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman.
Renaisans merupakan era sejarah yang
penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan
ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan gerakan reformasi
terhadap keesaan dan supremasi Gereja Katolik Roma, bersamaan dengan berkembangnya
Humanisme. Zaman ini juga merupakan penyempurnaan kesenian, keahlian, dan ilmu
yang diwujudkan dalam diri jenius serba bisa, Leonardo da Vinci. Penemuan
percetakan (kira-kira 1440 M) dan ditemukannya benua baru (1492 M) oleh
Columbus memberikan dorongan lebih keras untuk meraih kemajuan ilmu. Kelahiran
kembali sastra di Inggris, Perancis dan Spanyol diwakili Shakespeare, Spencer,
Rabelais, dan Ronsard. Pada masa itu, seni musik juga mengalami perkembangan. Adanya
penemuan para ahli perbintangan seperti Copernicus dan Galileo menjadi dasar
bagi munculnya astronomi modern yang merupakan titik balik dalam pemikiran ilmu
dan filsafat.
Bacon adalah pemikir yang seolah-olah
meloncat keluar dari zamannya dengan melihat perintis filsafat ilmu. Ungkapan
Bacon yang terkenal adalah Knowledge is Power (Pengetahuan adalah
kekuasaan). Ada tiga contoh yang dapat membuktikan pernyataan ini, yaitu: mesin
menghasilkan kemenangan dan perang modern, kompas memungkinkan manusia
mengarungi lautan, percetakan yang mempercepat penyebaran ilmu.
Lahirnya Teori Gravitasi, perhitungan
Calculus dan Optika merupakan karya besar Newton. Teori Gravitasi Newton
dimulai ketika muncul persangkaan penyebab planet tidak mengikuti pergerakan
lintas lurus, apakah matahari yang menarik bumi atau antara bumi dan matahari ada
gaya saling tarik menarik.
Teori Gravitasi memberikan keterangan,
mengapa planet tidak bergerak lurus, sekalipun kelihatannya tidak ada pengaruh
yang memaksa planet harus mengikuti lintasan elips. Sebenarnya, pengaruhnya
ada, tetapi tidak dapat dilihat dengan mata dan pengaruh itu adalah Gravitasi, yaitu
kekuatan yang selalu akan timbul jika ada dua benda yang saling berdekatan.
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah
melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika. Di abad
ke-9 lahir semisal farmakologi, geofisika, geormopologi, palaentologi,
arkeologi, dan sosiologi. Abad ke-20 mengenal ilmu teori informasi, logika matematika,
mekanika kwantum, fisika nuklir, kimia nuklir, radiobiologi, oceanografi,
antropologi budaya, psikologi, dan sebagainya.
D. China, India, dan Jepang
Peradaban India yang pada awal telah
mencapai teknologi tingkat tinggi. Kontak Eropa dengan peradaban India sebagian
besar melalui sumber berbahasa Arab. Jelas terlihat matematika India dengan system
bilangan dan perhitungannya yang telah mempengaruhi aljabar Arab dan melengkapi
angka utama Arab. Tetapi ciri khasnya adalah pemikiran dengan kesadaran yang
tinggi.
Peradaban Cina, hingga zaman renaisans
peradaban Cina jauh lebih maju dibanding Barat. Menurut Francis Bacon,
Tranformasi masyarakat Eropa banyak berasal dari Cina seperti kompas magnetik,
bubuk mesiu, dan mesin cetak. Namun Eropa tidak pernah menyadari hutang budinya
kepada Cina. Kegagalan Cina dalam membuat perkembangan ilmu dan teknologi
adalah filsafat yang ada lebih berlaku praktis ketimbang prinsip-prinsip
abstrak, filsafat yang ada didasarkan analogi-analogi harmonis dan organis
serta pedagang sebagai kelas yang tidak dapat dipercaya, sehingga ciri
renaisans yang terjadi di Eropa tidak terjadi di Cina.
Peradaban Jepang selama beberapa abad
terimbas dari kultur Cina. Pada awal abad ke-17 memutuskan untuk menutup pintu
dari pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan. Awal abad ke-19 memutuskan
berasimilasi ke bangsa luar dan melaksanakan dengan sungguh. Saat ini satu sisi
Jepang hidup dengan teknologi yang tinggi akan tetapi tetap mengikuti tradisi
sosial yang kuno seperti bangsa Cina.
1.7. Ilmu dan Moralitas
Dari awal perkembangan ilmu selalu
dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi
berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo
(1564-1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya
harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi
proses perkembangan berpikir di Eropa.
Moral reasioning adalah proses
dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah
sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang
digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya.
Menurut Kohlberg (Valazquez, 1998)
menyatakan perkembangan moral individu ada 3 tahap yaitu:
1. Level Preconvenstional.
Level ini berkembang pada masa kanak-kanak.
a. Punishment and obidience orientation: alasan
seseorang patuh adalah untuk menghindari hukuman.
b. Instrument and relativity orientation; perilaku atau
tindakan benar karena memperoleh imbalan atau pujian.
2. Level Conventional: Individu termotivasi untuk
berperilaku sesuai dengan norma-norma kelompok agar dapat diterima dalam suatu kelompok
tersebut.
a. Interpersonal
concordance orientation: orang bertingkah laku baik untuk memenuhi harapan
dari kelompoknya yang menjadi loyalitas, kepercayaan dan perhatiannya seperti
keluarga dan teman.
b. Law and order
orientation: benar atau salah ditentukan loyalitas seseorang pada
lingkungan yang lebih luas seperti kelompok masyarakat atau negara.
3. Level Postconventional:
pada level ini orang tidak lagi menerima saja nilai-nilai dan norma-norma dari
kelompoknya, melainkan melihat situasi berdasarkan prinsip-prinsip moral yang
diyakininya.
a. Social contract
orientation: orang mulai menyadari bahwa orang-orang memiliki pandangan dan
opini pribadi yang sering bertentangan dan menekankan cara-cara adil dalam
mencapai konsensus dengan perjanjian, kontrak dan proses yang wajar.
b. Universal ethical
principles orientation. Orang memahami bahwa suatu tindakan dibenarkan
berdasarkan prinsip-prinsip moral yang dipilih karena secara logis,
komprehensif, universal, dan konsisten.
1.8. Sarana Ilmiah
Dalam berpikir untuk mengembangkan
pengetahuan ilmiah, tentu tidak terlepas dari alat atau sarana ilmiah. Sarana
ilmiah dimaksud meliputi beberapa hal yaitu bahasa, matematika, statistika, dan
logika. Hal ini mempunyai peranan sangat mendasar bagi manusia dalam proses
berpikir dan mengkomunikasikan maupun mendokumentasikan jalan pikiran manusia.
Bahasa merupakan suatu sistem yang
berstruktur dari symbol-simbol bunyi arbitrer (bermakna) yang dipergunakan oleh
para anggota sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.
Unsur-unsur yang terdapat di dalamnya meliputi: simbol-simbol vokal arbitrer,
suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer dan yang dipergunakan
oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.
Bahasa berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi
kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun
deduktif. Hal ini disebut bahasa ilmiah, tentu beda dengan bahasa agama yaitu
kalam ilahi yang terabadikan ke dalam kitab suci dan ungkapan serta perilaku keagamaan
dari suatu kelompok sosial.
Matematika sebagai bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita
sampaikan. Fungsi matematika hampir sama luasnya dengan fungsi bahasa yang
berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Matematika merupakan ilmu deduktif
yang memiliki kontribusi dalam perkembangan ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial.
Statistik mengandung arti kumpulan data
yang berbentuk angka-angka (data kuantitatif). Penelitian untuk mencari ilmu
(penelitian ilmiah), baik berupa survei atau eksperimen, dilakukan lebih cermat
dan teliti dengan menggunakan teknik-teknik statistik. Statistik mempunyai peranan
penting dalam berpikir induktif, jadi bahasa, matematika, statistik memiliki
peranan yang sangat mendasar dalam berpikir logika dan tidak dapat terlepas
satu sama lain dalam berbagai bidang aspek kehidupan ilmiah manusia.
Logika merupakan sarana berpikir
sistematis, valid, cepat, dan tepat serta dapat dipertanggungjawabkan dalam
berpikir logis dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu seperti: mencintai
kebenaran, mengetahui apa yang sedang dikerjakan dan apa yang sedang dikatakan,
membuat perbedaan dan pembagian, mencintai defenisi yang tepat, dan mengetahui mengapa
begitu kesimpulan kita serta menghindari kesalahan-kesalahan.
A. Bahasa
Bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol
bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh suatu kelompok sosial sebagai alat
untuk berkomunikasi. Bahasa adalah suatu sistem yang berstruktur dari symbol-simbol
bunyi arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok sosial
sebagai alat bergaul satu sama lain. Perlu diteliti setiap unsur yang terdapat
di dalamnya. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala
berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Wittgenstein yang menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku”.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa
fungsi bahasa adalah: (1) Koordinator kegiatan-kegiatan masyarakat. (2)
Penetapan pemikiran dan pengungkapan.(3) Penyampaian pikiran dan perasaan. (4)
Penyenangan jiwa.(5) Pengurangan kegoncangan jiwa.
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal
yang digunakan dalam proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat
berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada
orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Dengan
kata lain, kegiatan berpikir ilmiah ini sangat berkaitan erat dengan bahasa.
Bahasa ilmiah adalah bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah.
B. Matematika
Banyak sekali ilmu-ilmu sosial sudah mempergunakan
matematika sebagai sosiometri, psychometri, econometri, dan
seterusnya. Hampir dapat dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan
fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir
ilmiah dengan baik, maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika
dan statistika. Penalaran ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif
dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif,
sedangkan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif.
Matematika adalah bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita
sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai
arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan
kumpulan rumus-rumus yang mati.
1. Matematika sebagai
Sarana Berpikir Deduktif
Matematika
merupakan ilmu deduktif. Nama ilmu deduktif diperoleh karena penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi tidak didasari atas pengalaman seperti halnya
yang terdapat di dalam ilmu-ilmu empiris, melainkan didasarkan atas
deduksi-deduksi (penjabaran-penjabaran).
2. Matematika untuk Ilmu
Alam dan Ilmu Sosial
Kontribusi
matematika dalam perkembangan ilmu alam, lebih ditandai dengan penggunaan
lambang-lambang bilangan untuk penghitungan dan pengukuran, di samping hal lain
seperti bahasa, metode, dan lainnya. Berbeda dengan ilmu sosial yang memiliki obyek
penelahaan yang kompleks dan sulit dalam melakukan pengamatan, di samping obyek
penelaahan yang tak berulang maka kontribusi matematika tidak mengutamakan pada
lambang-lambang bilangan. Kita akan mempelajari sebuah kelompok sosial dengan informasi
tertentu mengenai perasaan suka dan tidak suka di antara pasangan manusia.
Sebuah grafik adalah suatu bahasa matematis yang mudah di mana kita dapat
mengemukakan struktur semacam itu.
C. Statistik
Pada mulanya, kata “statistik” diartikan
sebagai “kumpulan bahan keterangan (data), baik yang berwujud angka (data
kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif), yang mempunyai
arti penting dan kegunaan besar bagi suatu negara”. Namun pada perkembangan
selanjutnya, arti kata statistik hanya dibatasi pada kumpulan bahan keterangan
yang berwujud angka (data kuantitatif) saja.
Dalam kamus ilmiah populer, kata
statistik berarti tabel, grafik, daftar informasi, angka-angka, informasi.
Sedangkan kata statistika berarti ilmu pengumpulan, analisis, dan klasifikasi
data, angka sebagai dasar untuk induksi.
Abraham Demoitre (1667-1754)
mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Pada tahun
1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat sesuatu distribusi yang
berlanjut dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak.
Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton
dan mengembangkan konsep regresi, korelasi, distribusi, chi-kuadrat, dan
analisis statistika untuk data kualitatif Pearson menulis buku The Grammar
of Science sebuah karya klasik dalam filsafat ilmu. Penelitian ilmiah, baik
yang berupa survei maupun eksperimen, dilakukan lebih cermat dan teliti dengan
mempergunakan teknik-teknik statistik yang diperkembangkan sesuai dengan
kebutuhan.
Tujuan dari pengumpulan data statistik
dapat dibagi ke dalam dua golongan besar, yang secara kasar dapat dirumuskan
sebagai tujuan kegiatan praktis dan kegiatan keilmuan. Perbedaan yang penting
dari kedua kegiatan ini dibentuk oleh kenyataan bahwa dalam kegiatan praktis hakikat
alternatif yang sedang dipertimbangkan telah diketahui, paling tidak secara
prinsip, di mana konsekuensi dalam memilih salah satu dari alternatif tersebut
dapat dievaluasi berdasarkan serangkaian perkembangan yang akan terjadi. Di
pihak lain, kegiatan statistika dalam bidang keilmuan diterapkan pada
pengambilan suatu keputusan yang konsekuensinya sama sekali belum diketahui.
Pengambilan kesimpulan secara induktif
menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang kita
hadapi. Dalam hal ini statistika memberikan jalan keluar untuk dapat menarik
kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari
populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif
tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin besar
contoh yang diambil, maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan
tersebut.
Hubungan antara Sarana Ilmiah Bahasa, Logika, Matematika dan Statistika
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal
yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat
berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang
lain. Ditinjau dari pola berpikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara
berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu, penalaran ilmiah
menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika
mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika
mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Jadi keempat sarana ilmiah
ini saling berhubungan erat satu sama lain.
Peranan Statistika dalam Tahap-Tahap Metode Keilmuan
Statistika merupakan sekumpulan metode
dalam memperoleh pengetahuan. Metode keilmuan, sejauh apa yang menyangkut
metode, sebenarnya tak lebih dari apa yang dilakukan seseorang dalam mempergunakan
pikirannya, tanpa ada sesuatu pun yang membatasinya. Statistika diterapkan
secara luas dalam hampir semua pengambilan keputusan dalam bidang manajemen.
Statistika diterapkan dalam penelitian pasar, penelitian produksi,
kebijaksanaan penanaman modal, kontrol kualitas, seleksi pegawai, kerangka
percobaan industri, ramalan ekonomi, auditing, pemilihan risiko dalam pemberian
kredit, dan masih banyak lagi.
D. Logika
Logika berasal dari bahasa latin yakni
Logos yang berarti perkataan atau sabda. Dalam bahasa arab di sebut Mantiq.
Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat
dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan
aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu.
Logis dalam bahasa sehari-hari kita sebut masuk akal.
Kata Logika dipergunakan pertama kali
oleh Zeno dari Citium. Kaum Sofis, Socrates, dan Plato dianggap sebagai
perintis lahirnya logika. Logika lahir sebagai ilmu atas jasa Aristoteles,
Theoprostus dan kaum Stoa. (Russell, dalam Mundiri 2006). Aristoteles
meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya disebut Organon.
Buku itu terdiri dari Categoriae (mengenai pengertian-pengertian) De Interpretatiae
(keputusan-keputusan), Analitica Priora (Silogisme), Analitica Porteriora
(pembuktian), Topika (berdebat) dan De Sophisticis Elenchis
(kesalahan-kesalahan berpikir). Theoprostus kemudian mengembangkan Logika
Aristoteles dan kaum Stoa yang mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang
sistematis (Angel, dalam Mundiri 2006).
Logika dapat di sistemisasi dalam
beberapa golongan:
1.
Menurut
Kualitas dibagi dua, yakni Logika Naturalis (kecakapan berlogika berdasarkan
kemampuan akal bawaan manusia) dan Logika Artifisialis (logika ilmiah) yang
bertugas membantu Logika Naturalis dalam menunjukkan jalan pemikiran agar lebih
mudah dicerna, lebih teliti, dan lebih efisien.
2.
Menurut
Metode dibagi dua yakni Logika Tradisional yakni logika yang mengikuti
aristotelian dan Logika Modern
3.
Menurut
Objek dibagi dua yakni Logika Formal (deduktif dan induktif) dan Logika Material.
Dalam permasalahan logika satuan
proposisi terkecil yakni “kata”. Kata menjadi penting karena merupakan unsur
dalam membentuk pemikiran. Pada praktiknya kata dapat dilihat berdasarkan
beberapa pengertian yakni positif (penegasan adanya sesuatu), negatif
(tidak adanya sesuatu), universal (mengikat keseluruhan), partikular
(mengikat keseluruhan tapi tak banyak), singular (mengikat
sedikit/terbatas), konkret (menunjuk sebuah benda), abstrak (menunjuk
sifat, keadaan, kegiatan yang terlepas dari objek tertentu), mutlak (dapat
difahami sendiri tanpa hubungan dengan benda lain), relatif (dapat
difahami sendiri jika ada hubungan dengan benda lain), bermakna/tak
bermakna. Selain itu kata juga dilihat berdasarkan predikatnya.
Selanjutnya adalah defenisi. Defenisi
adalah karakteristik beberapa kelompok kata. Karakteristik berarti melihat
jenis dan sifat pembeda. Jadi mendefenisikan berarti menganalisis jenis dan
sifat pembeda yang dikandungnya. Agar membuat defenisi terhindar dari kekeliruan
ada bebrapa hal yang perlu diperhatikan yakni: (a) defenisi tidak boleh luas
atau lebih sempit dari konotasi kata yang didefenisikan (b) tidak menggunakan
kata yang didefenisikan (c) tidak memakai penjelasan yang justru membingungkan
(d) tidak menggunakan bentuk negatif.
Klasifikasi adalah pengelompokan barang
yang sama dan memisahkan dari yang berbeda menurut spesiesnya. Ada dua cara
dalam membuat klasifikasi yakni Pembagian (logical division) dan Pengolongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar